30 September 2008

Mudik, perlu redefenisi

Saban lebaran atau libur panjang, mudik ke kampung halaman atau ke tempat orangtua atau keluarga sudah hampir jadi suatu kegiatan ritual. Kata dasar mudik adalah udik yang artinya daerah hulu sungai. Secara historis penduduk tradisional kita memang mendiami daerah pesisir sungai yang merupakan prasarana dan sarana kehidupan. Udik atau hulu adalah asal, hilir adalah perantauan.

Dalam kehidupan modern sekarang, tanpa terlalu banyak terpengaruh pada keberadaan sungai, kependudukan terpola menjadi rural dan urban. Semula daerah udik menjadi rural sedangkan hilirnya adalah daerah urban atau perkotaan. Di tengah gemuruh modernisasi yang kadang dirasakan lebih tepat sebagai westernisasi, daerah urban berkembang sangat pesat sehingga merubah wajah daerah rural atau mendesaknya lebih ke pedalaman lagi.
Perubahan yang drastis ini, berikut budaya duniawi yang sangat sengit pengaruhnya, manusia-manusia urban hidup dalam budaya yang makin miskin secara rohaniah-spiritual. Kehidupan di perkotaan berpacu dengan pemenuhan dahaga ekonomi yang tak pernah berhenti se detik pun sehingga sering menjadi kehilangan ruh kemanusiaan. Waktu demikian sempit dan banyak habis untuk hal-hal yang di luar produktifitas yang hakiki. Tanpa perlu menyebut keadaan-keadaan dimaksud satu per satu, kehidupan di perkotaan menjurus individualistik, artifisial, materialistik, konsumtif, dan ada yang mulai menjurus ke hedonistik.

Di tengah hiruk pikuk ini, relasi dan ikatan antar manusia perkotaan melemahkan pengaruh dan nilai-nilai primordial. Kehidupan perkotaan cenderung sangat rasional berlandaskan kepentingan ekonomi dan profesi. Dalam berbagai momentum kifayah -- bahkan kematian pun -- peran hubungan persaudaraan, tentangga, dan sanak famili secara parsial dan menerus beralih ke penyelenggara profesional.

Akan tetapi pada momentum-momentum primordial ternyata orang sangat merindukan hubungan dalam kerangka ruh kemanusiaan tadi. Tali persaudaraan direngkuh, masa kecil kembali dikenang, dan lambang-lambang keudikan atau asal dipajang dalam gerak langkah yang sempit dan susah payah. Tanpa mengenal lelah dan untung rugi, pada saat lebaran ini rasa itu ditumpahkan guna dapat berkumpul dengan orangtua dan sanak famili. Dari polling sederhana di blog ini, ternyata sebagian besar para pengguna internet masih memilih mudik dalam liburan lebaran. Tak heran jika mudik nyaris menjadi kegiatan ritual dengan dalih silaturrahim.

Silaturrahim memang harus terus dijaga dan dipererat, apatah lagi dengan orangtua atau keluarga. Ia dapat menjaga agar ruh kemanusiaan tetap menyala dan memudahkan kerja-kerja berjamaah atau mengembangkan networking. Silaturrahim yang seyogyanya khidmat tidak patut terganggu oleh cara-cara mudik yang panik dan kalap sehingga jadi kegiatan high cost economy.

Di era informasi ini banyak cara yang dengan mudah dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ekses mudik secara tradisional. Memang, sebuah sms atau suatu percakapan telepon tidak dapat menggantikan sungkeman atau nostalgia makan gulai ketupat bersama keluarga, namun silaturrahim tidak harus seasonal seperti kecenderungan saat ini. Jika memang harus tetap mudik, kita bisa melakukan perjalanan dengan persiapan yang lebih baik sehingga terlaksana secara well organized.

Dengan berbagai media komunikasi dewasa ini mestinya kita bisa memelihara silaturrahim tetap erat. Internet dan alat telekomunikasi -- termasuk video call -- dapat memudahkan komunikasi jarak jauh guna memecahkan permasalahan yang ada dan mengurangi tensi kerinduan hubungan kekeluargaan atau primordial. Komunikasi yang intensif dan terpelihara sepanjang waktu adalah faktor kunci dalam pengembangan silaturrahim. Tidak heran jika mereka yang silaturrahimnya terpelihara mudik dengan santai dan sangat menikmati meskipun kunjungannya relatif singkat.

Silaturrahim yang didukung komunikasi yang kuat akan bisa meredefinisikan fungsi dan tujuan mudik yang merupakan kegiatan kultural-religius ini. Bersama-sama dengan pembenahan infrastruktur perhubungan dan komunikasi maka kita bisa mereduksi mata rantai mudik yang tidak efisien seperti kemacetan, kecelakaan, atau utilisasi sarana angkutan yang tidak tepat atau boros. Adanya silaturrahim yang terjaga baik, mudik bisa jadi alternatif, baik secara skala waktu atau pun kegiatan, yang dapat kita atur priorotas dan pacing-nya. Untuk memulainya ada pada mindset kita sendiri!!!

29 September 2008

Idul Fitri

Selamat Idul Fitri
1 Syawal 1429 H
Minal Aidin wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Semoga Allah mengampuni segala dosa dan menerima segala amal kita semua sehingga kembali fitri.

Hari Penuh Rasa Syukur

Hari Minggu 28 September, pulang dari Dumai sampai ke rumah sekitar jam 03.00. Ngantuk dan cape sehingga puasa terasa agak "melawan" dari biasanya. Alhamdulillah, sepanjang hari Minggu menyenangkan karena:
1. Hari ulang tahun: Alhamdulillah umur nambah, mudah-mudahan juga rezeki dan amal. Banyak teman-teman yang kirim sms atau email. Surprise, operator celluler kirim tart.
2. Tulisan "Mencermati Paradoks dalam Ramadan" (Versi Inggerisnya ada di blog ini) dimuat di halaman depan pada kolom Petuah Ramadan koran Riau Pos.
3. "Telatah Budak Riau: Gagal Jadi Caleg" selesai dan dapat dipajang pada blog ini.
4. Ketiga orang putra yang sekolah di Bandung pulang ke Pekanbaru.

Meskipun sorenya dapat kabar bahwa salah seorang keluarga dalam keadaan sakit di Rumah Sakit (yang telah kami besuk malam tadi), tiada yang dapat terucap kecuali bersyukur kepada Allah Swt yang telah melimpahkan nikmat dan rahmatnya. Semoga kita semua senantiasa dapat bersyukur sehingga mendapat kasih sayang Allah Swt.

28 September 2008

Telatah Melayu: Batal Jadi Caleg

Syahdan, tiga orang budak Melayu – Atan, Awang, dan Pudin – berbual-bual jelang buka puasa. Atan adalah seorang mahasiswa putus kuliah yang sekarang beternak kambing. Awang yang cuma tamatan SMP meneruskan usaha ayahnya sebagai pedagang ojol sedang Pudin adalah sarjana lulusan Timur Tengah yang jadi kepala madrasah di kampung mereka.

“Bang Awang, aku dengar abang nak maju jadi caleg. Betul kah?” tanya Atan.
“Kau ni tau aja lah, Tan... Kambing kau tu kah yang cakap?”
“Dah banyak yang cakap di kampung ni bang. Semula, orang-orang tu kira yang nak maju bang Pudin ni,” tunjuk Atan pada Pudin. “Kenapa tak bang Pudin yang dah dikenal orang ni yang kita dukung? Sekolahnya pun dari Arab sana. Umur dan pengalamannya dah patut untuk jadi caleg tu.” Karena dibandingkan dengan sang kepala madrasah, Awang tak berani menjawab.

“Tak lah, Tan… biarlah aku di madrasah aja. Sayang budak-budak yang rajin-rajin tu,” tanggap Pudin beberapa saat kemudian.
“Tapi nampaknya abang lah yang bisa mewakili orang di kampung ni. Abang ngerti banyak hal; abang pun banyak kenal petinggi di kota sana. Rasanya banyak yang abang bisa buat nanti untuk kemaslahatan kita ni,” ucap Atan lagi.
“Satu sisi betul, Tan. Aku tak tahan liat orang bertungkus lumus di kantor pos nak ngambil BLT itu. Bila ternampak pula Mak Joyah yang dah tua tu masih cari kayu api ke hutan sana karena minyak tanah sulit dan mahal di negeri penghasil minyak ni dan sekolah-sekolah yang dah nak roboh, memang geram kita. Tapi aku dah senang ngajar budak-budak di madrasah tu. Lagi pun nak jadi caleg tu zaman sekarang ni tak mudah.”
“Tak mudah macam mana, bang?” tanya Awang agak terkejut.
“Kan bayak syarat-syaratnya. Aku pun bukan orang partai. Kalau tiba-tiba masuk jadi caleg tentulah pengurusnya melihat dulu apa untungnya,” jelas Pudin.
“Nah…betul tu bang,” sambut Atan bersemangat. “Jika aku ketua partai, siapa yang nak jadi caleg akan aku tanya dulu apa sanggup nyumbang?”
“Aku sanggup,” tingkah Awang merasa disindir oleh seorang peternak kambing.
“Kalau dia minta nomor urut kecik, ada lagi tambahannya. Kalau bang Awang ni, aku tanya lagi yang untuk aku…. he he he …,” kata Atan mengikik sambil mengedipkan matanya dan menggeser-geserkan jarinya seperti menghitung uang.
“Hijau juga mata kau, Tan..! Terpikir sama engkau jadi ketua partai macam tu ya?” komentar Pudin.
“Kan caleg macam bang Awang ni, banyak duitnya. Surat menyurat kurang-kurang sikit tak apa-apa lah. Lagi pun bang Awang dah ngurus ijazah SMA jarak jauh tu kan, bang?”
“Dari siapa pula kau tau, Tan?” tanya Awang malu-malu karena dia memang sedang mencari ijazah aspal SMA. Pudin nampak senyum-senyum saja.
“Waktu kampanye nanti, kalau abang nak menang tentu harus bagi-bagi baju kaus atau sembako.”
“Aku bisa jual kebun getah aku,” tingkah Awang lagi tak mau kalah.
Dengan cepat Atan melanjutkan:
“Tambah ongkos abang kesana kemari dan upah tim sukses, bisa habis dua milyar rupiah.”
“Hah…??? Dua milyar? Menyanyah kau, Tan…!”
“Siapa cakap gitu, Tan? tanya Pudin menengahi. Awang yang terheran-heran mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan pertanyaan Guru Pudin tu.
“Itu hitung-hitungan aku aja, coba kira kalau harus siapkan 100 ribu lembar kaus dan ribuan paket sembako untuk kampanye. Buruk-buruk gini, aku pernah jadi tim sukses Bupati kita ni. Untuk jadi bupati, apalagi gubernur, akan berlipat-lipat lagi bang. Makanya aku tak mau jadi caleg tu karena kalau aku itung biayanya sama dengan hasil ternak aku 1000 bulan atau kami tak makan 83 tahun. Mungkin bang Awang ni lah yang sanggup,” jelas Atan.
“Tak lah Tan… dari pada menang belum tentu, kebun getah terjual pula,” jawab Awang menyurut.

Pudin yang dari tadi lebih banyak mendengar akhirnya menimpali:
“Itulah, masing-masing kita ni ada kelebihan dan kekurangan. Ada yang punya duit, syarat kurang atau tak dikenal orang; atau sebaliknya. Sebenarnya kalau nak berhasil kita harus kerja berjamaah; siapa calegnya, siapa yang dukung duitnya, siapa yang jadi tim sukses.”
“Tapi bang….,” potong Awang dengan gugup, kawatir dua kawannya itu akan memojokkannya supaya keluar duit untuk dukung Pudin jadi caleg.
“Tapi…. , apa caleg itu memang pilihan yang terbaik? Siapa pun yang keluar duit gitu banyak, tentu nak minta pengembalian atau balasannya. Bagaimana membalikkannya jika tidak dengan kerja menyalah setelah jadi nanti? Yang lebih penting, jika jabatan didapat bukan karena diamanahkan tapi dengan cara dibeli semacam itu, tidak akan diberkahi dan dibantu Allah. Makanya lebih baik kita mensyukuri nikmat yang sudah dianugerahkan Allah pada kita sekarang ini. Usahakan dengan baik dan sekuat tenaga. Nampaknya kita memang lahir tidak pada zaman yang tepat,” pungkas Pudin filosofis.
“Ya lah bang,” kata Awang dan Atan hamper serentak.
“Baliklah kita, kejap lagi azan. Assalamulaikum,” kata Pudin menyudahi bual-bual mereka.
"Waalaikum salam, bang."

23 September 2008

Menanam dan Menuai Kebaikan

Seorang sahabat, yang sebenarnya masih paman saya, meninggal dunia semalam (Senin 22 September 2008) pada saat saya sudah terlelap. Meninggal adalah kodrati tapi akan menjadi suatu hal yang istimewa jika ada kesan atau tauladan yang dapat dipetik dari seseorang yang mendahului kita menghadap Sang Maha Pencipta. Sahabat saya ini banyak memberikan pelajaran dan kesan yang mendalam tentang kehidupan.

Meskipun hanya tamat SLTA dan seorang pensiunan pegawai biasa di Dinas Koperasi, sosok sahabat itu ternyata sangat besar. Di kantor dia terkenal sebagai seorang yang jujur, suka menolong, dan bertanggungjawab pada pekerjaannya. Suatu kali dia curhat bahwa dia ingin menolak jadi bendaharawan karena nuraninya tidak tahan menghadapi keadaan zaman. Saat orang berebut-rebut ingin punya jabatan atau tugas yang basah, akhirnya dia memang melepaskan “kesempatan” itu.

Di masyarakat lingkungannya dia memang merupakan sosok yang disegani. Suatu kali pula di kampung kami bergejolak konflik antara kelompok yang merugikan masyarakat (sebut saja preman) dengan masyarakat pada umumnya yang didukung oleh para perantau. Preman-preman ini menggunakan segala cara, termasuk ilmu hitam, untuk menakut-nakuti masyarakat dan perangkat desa sehingga para perantau tidak berani pulang kampung. Di tengah situasi demikian, sahabat saya inilah yang berani masuk dan ternyata tidak mengalami gangguan apa-apa.

Ketika saya tanya apa rahasianya, dia hanya tersenyum sambil berkata: “Niat kita kan baik, Lillahi Taala.” Ketika saya selidik apa dia pakai ilmu tertentu, jawabnya: “Selama kita yakin dengan Yang Maha Kuasa, Insya Allah kita akan dilindungiNya. Rajin-rajin aja membaca Al-Quran, di dalamnya banyak ayat-ayat yang berisi doa mustajab.” Yang jelas dia memang seorang yang baik hati dan sangat santun pada orang lain.

Setelah pensiun pun dia tetap seorang “pejuang”. Dia tetap berusaha untuk mendukung ekonomi keluarga dengan bekerja apapun dan memelihara sedikit kebun sawitnya. Hebatnya secara profesi dia masih menyempatkan untuk mengabdikan diri sebagai pengawas beberapa koperasi dan jadi pengurus yayasan yang tentunya jauh dari keuntungan ekonomi pribadi. Dengan tidak kenal lelah dia berurusan kerja sosial kesana kemari dengan sebuah motor tuanya tanpa pernah hitung-hitungan biaya perjalanan atau balas jasa.

Dalam keluarga pun dia seorang ayah dan suami yang sangat dicintai anak-anaknya. Dengan keadaan ekonomi yang seadanya, dia terus mendorong studi dan kebahagiaan anak-anaknya. Sebagian besar anaknya sudah lulus dari perguruan tinggi dan mendapat menantu orang-orang yang berpendidikan.

Dalam aktifitas itulah suatu hari dia mengalami musibah di kebun sawitnya, diserang kawanan lebah hutan yang diduga terganggu predator lain. Dia sempat disengat ratusan lebah di kepala dan badan sebelum menceburkan diri ke parit di kebunnya. Sejak itu memorinya on-off sehingga kami sahabat dan kaum familinya mulai merasa kehilangan. Upaya pengobatan nampaknya belum berhasil.

Dalam keadaan demikian, dia masih dapat “menuai” apa yang “ditanam”nya. Dalam keadaan off pun dia masih ingat untuk sholat, meski kadang tidak sempurna. Sampai kemaren dia tetap puasa dan tarawih. Kemaren siang dia ikut ke bandara mengantarkan putri dan menantunya yang akan ke Mesir untuk belajar. Juga ikut seorang putrinya yang lain yang akan menyusul suaminya yang sudah di Sudan belajar S3. Malamnya dia tidak enak badan dan dibawa ke rumah sakit.

Minggu lalu sebenarnya saya sudah berniat untuk menjenguk ke rumahnya hari Selasa ini. Niat saya itu rupanya terkabul tadi subuh, namun setelah dia pergi untuk selamanya. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan menerima semua amal kita, Amin.

22 September 2008

Pemilukada Riau: Updating Quick Count

Jam 19.30 malam ini Riauterkini melaporkan updating hasil Quick Count Pemilukada Riau. Lingkaran Survey Indonesia (LSI) dan Jaringan Isu Publik (JIP) yang sudah melakukan hal yang sama sebanyak 57 kali, pada Pemilukada Riau menyimpulkan bahwa pasangan Rusli Zainal-Mambang Mit menang mutlak.

Dari 400 TPS sampling, sudah masuk data dari 386 TPS atau 96,8 % dengan jumlah 85.793 suara. Adapun perolehan suara masing-masing pasangan sesuai nomor urut adalah 22,18 : 56,85 : 20,97 %. Dengan demikian kedua lembaga itu sudah yakin dengan kemenangan pasangan RZ-MM secara mutlak.

Pengurus lembaga itu juga menyampaikan analisis mereka bahwa ada tiga faktor yang membawa kemenangan RZ-MM: 1). popularitas, 2). kinerja selama ini, dan 3). pembelotan komponen partai pendukung pasangan lain ke pasangan RZ-MM yang lengkap dengan prosentasinya. Apapun, itulah pelaksanaan Pemilukada Riau 2008 dengan hasil Insya Allah H. M. Rusli Zainal, SE, MP dan Drs. H. R. Mambang Mit adalah Gubernur dan Wakil Gubernur Riau perioda 2008-2013.

Semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunianya di Provinsi Riau.

Sagu Khas Riau: Sempolet dan Kepurun
















Minggu lalu saya mengikuti acara Safari Ramadhan ke Selatpanjang, sebuah kota kecamatan di Pulau Tebing Tinggi yang terletak di pesisir Provinsi Riau. Pulau Tebing Tinggi dan pulau-pulau di sekitarnya ini adalah dataran rendah yang tanahnya berupa levee endapan lumpur (marine clay) atau rawa gambut yang banyak ditumbuhi rumbia. Selat Panjang dan sekitarnya adalah penghasil sagu sejak dahulu; luas tanaman sagu di Kabupaten Bengkalis 44.000 Ha lebih dengan produksi 179.000 ton lebih per tahun.

Ketika zaman sulit dulu dan beras langka, penduduk pesisir mengandalkan sagu sebagai makanan pokok. Banyak terdapat jenis-jenis makanan tradisional berbahan baku sagu yang merupakan kreatifitas dan kearifan lokal orang Melayu. Meskipun beras sudah lama pula jadi makanan pokok, tapi makanan asal sagu tentu punya tempat khusus di hati orang-orang Selatpanjang.
Safari Ramadhan itu diikuti pula oleh beberapa rekan asal Selatpanjang yang sudah "jadi orang". Untuk mengenang masa lalu, tidak heran jika tersaji pula makanan-makanan dan kue-mueh tradisonal tempatan seperti apam, serabi, dan bolu kemojo. Kemudian ada dua jenis makanan yang menggunakan bahan sagu yang menarik perhatian saya karena baru tahu dan punya sedikit kaitan cerita kultural.



Pertama, SEMPOLET (gambar pertama) yaitu semacam cream soup dari sagu yang didalamnya dimasukkan pucuk (gelungan) pakis hutan yang memang banyak di rawa gambut, ebi, dan daging lokan (sejenis kerang).
Makanan klasik yang baru saya ketahui karena sudah jarang disajikan ini, dari nutrisi dan bentuk serta rasanya menunjukkan kearifan lokal yang tinggi. Tidak saya sangka bahwa puluhan, mungkin ratusan, tahun yang lalu orang Melayu sudah kenal Cream Soup; sebuah karya kuliner bagus yang menggunakan bahan lokal secara optimal. Kalau ketika itu Bondan ikut, saya yakin dia akan memberikan appresiasi yang istimewa. Rasanya...hmmmmmm.....

Kedua, KEPURUN yakni bubur biasa saja dari tepung sagu yang mirip dengan ongol-ongol atau lebih tepatnya seperti lem untuk kertas yang kita buat dari kanji atau tapioka yang dipanaskan dengan air (gambar kedua, sayang mangkoknya saat sudah hampir kosong). Kaperun adalah main course sebagai substitusi nasi karena di daerah pesisir Riau dulu beras cukup sulit didapat, yang dimakan dengan asam pedas ikan laut seperti lome, senangin, selar, atau kakap.

Makanan ini memang sedap rasanya dan dapat mengganjal perut tapi yang namanya bubur dan dari sagu yang tidak begitu banyak nutrisinya pula, tentu tidak bertahan lama seperti nasi. Jika makan kepurun, dalam waktu tidak lama sudah terasa lapar kembali.

Ketika zaman berubah dan nasi jadi lazim, di kampung saya kepurun jadi istilah yang berkonotasi "tak kebagian nasi dan akan menderita kelaparan". Ketika di Selatpanjang itulah saya jadi mengerti kenapa orang di kampung saya sering memakai istilah itu. Misalnya seseorang yang datang terlambat ke suatu pesta sehingga tidak kebagian makanan maka orang akan mengatakan: "Nah... kepurun engkau...!". Orang itu dalam hati mungkin akan berbisik: "Alah mak... kepurun aku malam ni......"

Sagu: Jasa Bridging Food



Sagu adalah pati berupa butiran atau tepung putih yang didapat dari teras batang rumbia (Metroxylon sago Rottb.). Pohon rumbia banyak tumbuh di rawa-rawa gambut di daerah pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Irian. Meskipun gizinya kurang, sagu mengandung banyak karbohidrat sehingga bisa dijadikan bahan makanan pokok di daerah-daerah yang tidak ada beras.

Sagu yang karakteristiknya mirip dengan tapioka sudah bermanfaat sejak dulu. Pada zaman penjajahan, untuk memperlemah perlawanan rakyat, Belanda mengembargo beras ke suatu daerah. Untuk daerah pesisir Riau yang memang tidak banyak beras, masyarakat lebih mengandalkan sagu sehingga embargo Belanda tidak begitu efektif,

“Kamu orang miskin yah, tidak punya makanan. Kalau mau ikut Belanda, nanti kita orang kasih beras, heh…!??!!” kata opsir-opsir Belanda membujuk penduduk supaya tidak berontak.

Pada zaman kemerdekaan namun waktu masih sangat susah dulu, sagu juga sudah berjasa pada generasi yang sekarang sekitar 50-60 tahun. Jika tidak ada beras atau di daerah yang secara tradisi makanan pokoknya memang sagu seperti Maluku dan Papua, sagu telah menggantikan beras sebagai sumber karbohidrat. Di daerah pesisir Riau, sagu dijadikan bubur (di Papua disebut papeda) atau semacam kerak telor yang diamakan dengan gulai ikan asam pedas atau ikan asin. Sagu lah yang telah berjasa jadi bridging food yang sekarang jadi nostalgia mereka-mereka yang pernah mengalaminya. Karena itu ok ok saja kan diversifikasi makanan berbahan dasar beras ke sagu? (foto pohon sagu dari Wikipedia)

Pemilukada Riau: Hasil Quick Count

Pasangan Rusli Zainal (Gubernur incumbent) dan Mambang Mit (mantan Sekda Provinsi Riau), courtesy of Riauterkini.


Sebagaimana yang sudah diprediksi kebanyakan analis, pasangan Rusli Zainal-Mambang Mit nampaknya akan jadi pemenang pemilukada Provinsi Riau. Sampai dengan pukul 17.30, hasil quick count LSI adalah: CS 23,51%, RZ-MM 54,68%, Tampan 21,81%. Total yang sudah terhitung 76,5% sampling dengan tingkat partisipasi 61,97%.

21 September 2008

Paradox in Ramadhan Fasting


Two appearances of a billboard in Senayan Jakarta, satirizes fasting paradox (Pics are courtesy of Junarta Taufik, Jakarta)

Every Ramadan, the ninth month of Islamic lunar year, Muslim worldwide practice fasting. Obviously, one objective of Ramadan fasting is to share thirsty and hunger suffered by the poor, while they still have to work and do daily activities for life. Under this premise, shouldn't the fasting month be a period to practice daily life modestly and more thriftily?
Undoubtedly, modest and thrifty are intimate way of living of our poor fellows. Avoiding the variety of tasty meal, they have to struggle for livelihood from early morning till evening on daily basis. What such a family will have for dining depends on what is earned by the householder who had leaved home since dawn.

In contrary to this situation, there are paradoxical implementations of the values in the fasting month and the consecutive Idul Fitri feast. At these events some people are likely promoting a tourism culinary month. Dining tables are full of various courses and dishes. Even some inobedient Muslims consume wine or beer. In celebrating Idul Fitri many also like to renew or change clothing and furniture, even their second car!

No wonder if consumption and expenditures of households might be doubled or more during this season. Reciprocally, secondary consumer goods also flood the market in concomitant with extraordinary seasonal demand. Therefore, government predicts that the situation will increase inflation in September 2008.

Back to the fasting that aims to build faithful mankind's piety, it is very important to Muslims to reform the praxis values and implementation of the fasting. To change traditions having been considered as righteousness is surely not that easy but as an agent of change, a Muslim can start with straightening perception about fasting and next step is to implement properly values contained in fasting objectives and wisdom.
As a modus of character building, fasting can be utilized to set values namely apprehension, modesty, brotherhood, and thrifty out to family and society. If a family usually breaks the fasting at dusk is similar to “Culinary Adventures” in TV, it is necessarily shifted to be “minimalist” and applying Prophet Muhammad’s conduct: “Cease eating before full".

The success of this reformed habit implemented among all the family members depends on parental conducts and behavior in generating motivation. A youth who is naturally a trencher-human being, is possibly able to refrain from gorging to break the fasting in regard to values conveyed and the sluggishness in night praying. Energy of kids who love being active even though in fasting, is positively canalized to study and do many things else. These principles are necessarily cultivated to children since early in order to avoid a premise that fasting month is a month of culinary festivities and allowed to laze along the month.

When the month is over, the following Idul Fitri feast is essentially the day to thank God that those who just finished fasting are success and passed a crucible so that free of sin like a new born baby, called fitri.

It is understandable if people celebrate the happiness with parents and families but not to fall in debaucheries. To share the happiness and support the poor at the feast, one has to had settled up her or his tithe called zakah fitrah one day before. Moreover, it is also suggested to do fasting for six days between the second day and the end of the consecutive month Syawal that is rewarded as if a full year fasting, in order to keep values and benefits of Ramadan fasting in mind.

In conclusion, it is very important for Muslims to inspect and keep Ramadhan fasting being on the right track and free of paradoxical practices and values. Beside modesty and thrifty, it will bring about more real benefits of the fasting to implement continuously for good. A Muslim will achieve the piety through perfect Ramadhan fasting as stated in the Quran in the famous verse 183 of Al-Baqarah.

Pemilukada Riau: Prediksi Hasil

Sebenarnya saya bukan orang politik tapi sekedar senang mengamati dan mengkomunikasikan kepada teman-teman aja. Insya Allah pada tulisan berikutnya akan dikemukakan kenapa-kenapanya tentang pertanyaan kok tidak ikut sekalian. Tentang prediksi hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan berlangsung tanggal 22 September, ada berbagai info yang beredar.

Menurut berbagai survey dan analisis beberapa pihak , pasangan RZ-MM akan muncul sebagai pemenang. LSI misalnya meprediksi perolehan suara CS 19%, RZ-MM 47%, dan Tampan 28% (Riau Pos 18/9/08). ISDP memprediksi hasilnya adalah CS 10,56%, RZ-MM 40,14%, dan Tampan 10,20% (Tribun Pekanbaru 19/9/08).

Sementara itu, opini selintas di lapangan menyebutkan bahwa diatas kertas juga pasangan nomor 2 ini yang kuat. Bahkan kalkulasi seorang ketua DPW salah satu partai pendukung: 10:60:20%. Pengamatan saya pada beberapa kali kesempatan ke lapangan, RZ-MM memang sangat populer, khususnya di kalangan pemilih wanita dan remaja.

Namun setelah PKS bergabung untuk mendukung calon nomor 1 CS, sebagian pengamat berpendapat peluang jadi 50-50 antara CS & RZ-MM. Bahkan ada yang memprediksi incumbent RZ-MM akan kalah karena arus di lapangan berbalik ke CS. Lagipun ada pendapat para ahli bahwa masyarakat cenderung ingin perubahan tanpa peduli keberhasilan yang ada, termasuk ingin punya pemimpin yg baru. Karena itu seorang rekan berani memprediksi hasilnya 38:32:30.

Dua situs berita internet juga melakukan polling dengan hasil yang berbeda dengan lembaga-lembaga survey di atas. Hasil polling RiauInfo dengan 244 responden menunjukkan angka sesuai urutan calon 50: 37: 12. Situs berita riauterkini yang melakukan polling selama sebulan menunjukkan hasil yang agak mirip. Dengan jumlah responden 2.375 orang, polling yang sudah ditutup Ahad 21 September 2008 jam 10.00 menunjukkan hasil CS 53,56%, RZ-MM 24,47%, dan Tampan 21,47%. Sejauh ini kita tidak tahu bagaimana korelasi antara pendapat responden pengguna internet ini dengan suara grass root.

Wallahualam. Semoga Allah memberikan Provinsi Riau pemimpin yang terbaik.

18 September 2008

Pemilukada Riau: Debat Kandidat

Alhamdulillah saya bisa hadir pada acara Debat Kandidat calon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau Kamis 18 September malam. Acara yang baru mulai jam 22.00 itu mendapat atensi yang demikian luas dari masyarakat sehingga hotel tempat acara berlangsung dikawal ketat. Dalam hall yang masuknya diseleksi ketat, para cheer leader masing-masing kadidat heboh dengan yel-yel masing-masing.

Yel-yel itu bersahut-sahutan pada waktu yang dibolehkan pengatur acara, meskipun terasa kurang dipersiapkan dengan baik. Semua kelompok pendukung kelihatan kurang kompak dan kurang lantang. Kadang seperti sekelompok anak kecil yang sedang ejek-ejekan.

Acaranya sendiri ternyata terpotong-potong break yang terasa kontra produktip. Bukan hanya hadirin tidak tau break itu di siaran tv diisi apa, ritme acara debat nampaknya terasa terganggu sehingga ada kemungkinan berpengaruh pada peserta debat. Secara keseluruhan, acara debat itu memang terasa biasa-biasa saja.

Tentang bagaimana kualitas penampilan para kandidat, yang ikut menonton tentu sudah mendapatkan sedikit gambaran. Namun sebagai seorang hadirin yang sudah mengenal para kandidat, saya punya beberapa catatan yang dapat dikemukakan, sebagai berikut:

1. Semua peserta debat tampil tidak pada top performance masing-masing; apakah karena demam panggung akibat under pressure, heboh dan saling serang para supporter, atau memang akibat dari nuansa tegang antarkandidat sendiri.
2. Rasa tegang dan kurang konsennya kandidat mengakibatkan banyak jawaban pertanyaan yang tidak langsung ke inti masalahnya atau tidak fokus dan ada pula yang terlewat. Keadaan ini tentu dapat memberikan sedikit gambaran dari kepribadian, leadership, kompetensi, serta kapabilitas para kandidat.
3. Acara itu tidak dapat menggambarkan sosok atau visi dan misi para kandidat secara utuh karena selain waktunya terlalu singkat juga mereka tampil tidak optimal. Pemilih diharapkan tidak jadi golput tapi tetap memilih the best of the best yang kira-kira sesuai dengan harapan mereka tentang Provinsi Riau ke depan.
Semoga Allah senantiasa merahmati dan mencurahkan kasih sayangnya di Provinsi Riau, Bumi Melayu Lancang Kuning (Sumber foto Riau Pos 19/9/08).

Pemilukada Riau: Kandidat Gubernur & Wakil Gubernur

Malam ini, Kamis 18 September 2008, akan diadakan Debat Publik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Riau Prioda 2008-2013. Yang akan maju pada Pemilukada kali ini ada tiga pasangan dengan nomor urut 1. Chaidir-Suryadi Khusaini, 2. Rusli Zainal-Mambang Mit, 3. H. Raja Thamsir Rachman-Taufan Andoso Yakin. Pasangan pertama dikenal dengan CS, yang kedua RZ-MM, dan yang terakhir menggunakan singkatan Tampan. Guna memahami visi dan misi yang mereka usung dalam debat itu, ada baiknya kita mengenal sekilas masing-masing pasangan calon.

Pasangan CS mengajukan Drh. H. Chaidir, MM sebagai Calon Kepala Daerah atau Gubernur dan H. Suryadi Khusaini sebagai wakilnya. Chaidir adalah seorang dokter hewan alumni UGM yang semula seorang PNS di Badan Otorita Batam. Sejak 1992 jadi anggota DPRD Provinsi Riau (sekarang non aktif) dan jadi Ketua DPRD Provinsi Riau untuk perioda 1999-2004 dan 2004-2009 sebelum mudur beberapa bulan lalu. Dalam kesibukannya sebagai politisi, Chaidir masih sempat menuangkan pikirannya di berbagai media yang sekarang sudah jadi beberapa buah buku.

Wakil pada pasangan ini adalah H. Suryadi Khusaini yang merupakan Ketua DPD PDIP Provinsi Riau yang juga anggota DPRD Provinsi Riau (nen aktif), disampin sebagai Ketua paguyuban Jawa Provinsi Riau IKJR. Sebelum mengundurkan diri Suryadi adalah Wakil Ketua DPRD, mendampingi Chaidir. Pasangan ini diusung oleh PDIP, PBB, dan PNUI. Meskipun tidak ikut masuk daftar pengusung, PKS telah pula menyatakan dukungannya pada pasangan ini.

Pasangan kedua terdiri dari H. Rusli Zainal, SE, MP dan Drs. H.R. Mambang Mit. Rusli Zainal merupakan calon incumbent yang menjabat Gubernur Riau tahun 2003-2008. Sebelum jadi Gubernur, Alumni Fakultas Ekonomi UNRI ini adalah Bupati Indragiri Hilir yang kemudian ditinggalkannya sebelum habis masa jabatan karena maju sebagai calon Gubernur Riau dan terpilih. Sebagai Gubernur Rusli mengusung program K2I (kemiskinan, Kebodohan, dan Infrastruktur) yang ingin dilanjutkannya jika nati terpilih kembali.

Drs. H. Mambang Mit sebelum mencalonkan diri jadi Wakil Gubernur berpasangan dengan Rusli Zainal adalah Sekretaris Daerah Propinsi Riau. Mambang yang dikenal sebagai seorang pejabat publik yang bijak ini kenyang dengan pengalaman birokrasi di lingkungan Kandep Perdagangan dan pernah pula jadi Sekretaris Kota Batam. Bersama Rusli Zainal, Ketua Korpri yang juga Ketua ISEI dan Pengda PGI Provinsi Riau ini diusung oleh Partai Golkar, PBR, PKB, dan PPP.

Calon Kepala Daerah dari pasangan ke tiga adalah Drs. H. Raja Thamsir Rachman, mantan Bupati Indragiri Hulu. Thamsir maju sebagai calon ketika masa jabatannya sebagai Bupati untuk perioda kedua masih panjang. Dikenal ramah dan banyak senyum, Thamsir sudah menunjukkan minatnya untuk maju sejak lama.

Diusung oleh PAN, Partai Demokrat, dan koalisi beberapa partai kecil non-parlemen, calon wakil kepala daerah pasangan ini adalah H. Taufan Andoso Yakin. Taufan adalah Ketua DPW PAN yang juga anggota DPRD Provinsi Riau sampai dengan 2009 (sementara non-aktif). Taufan dari sisi usia dapat dikatakan sebagai generasi muda diantara para calon itu.
(sumber gambar Riau Pos 18/9/08)

16 September 2008

U k a y

Di rumah kami ada anggota yang mendapat perlakuan istimewa: Ukay. Seperti nampak dalam gambar, Ukay adalah sebuah boneka berbentuk kura-kura. Namanya berasal dari kebalikan kata kuya yang berarti kura-kura.

Entah kenapa si bungsu Dinda lengket sekali dengan Ukay. Kemana-mana Ukay kudu ikut. Meskipun sudah kucel dan keriput, kalau ketinggalan dibela-belain Dinda nangis maksa supaya Ukay dijemput lagi.

Tapi Dinda tidak mau mempersonafikasikan dirinya sebagai “emak”nya Ukay. Emaknya si Ukay, kata Dinda, adalah ……, menyebut nama mamanya sendiri. Ayahnya Ukay juga sama dengan ayahnya.
Dari penampilan Ukay juga harus dianggap paling ganteng di rumah kami. Kalau saya beres-beres dan ingin tampil rapi, paling bisa bilang: “Ayah dah ganteng kayak Ukay, kan?”. Hebatnya lagi Ukay bisa ngomong kayak “anaknya” Susan yang dari Surabaya itu.


Coba simak “reputasi” Ukay:
1. Mengikuti kunjungan Dinda ke berbagai kota, termasuk Bali, KL, dan Singapura;
2. Menjalani Dry Cleaning Adventure sebanyak 3 kali;
3. Operasi ringan dengan beberapa jahitan;
4. Home stay di Bandung (baca: ketinggalan di rumah nenek Dinda) 2 kali;
5. Misi penerbangan khusus dalam paket kilat 1 kali.

Semoga Ukay makin ganteng supaya saya bisa naik rating juga…. He..he…he…

14 September 2008

M a d a

Kata mada belum penulis temukan dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Dalam bahasa Minang mada berarti bandel, keras kepala, atau keras hati. Dalam lingkungan anak gaul di Pekanbaru yang sebagian bahasa pasarannya bahasa Minang, kata itu juga berkonotasi nakal dan usil.

Karena itu ada yang mengklaim bahwa Gajah Mada berasal dari ranah Minang. Secara bergurau klaim itu diasosiasikan ke gambaran wajah patung batu Gajah Mada yang ada dalam buku-buku sejarah. Yang lebih serius adalah karena sepak terjang patih kerajaan Majapahit itu yang berani dan kuat dalam bertahan tanpa mengenal rasa takut pada ancaman yang hebat.

Sikap mada (Inggeris: stubborn) ini diasosiasikan pada rendahnya tingkat pendidikan sehingga ketidaktahuan menjadi penghalang untuk menerima pikiran orang lain. Tapi premis tadi ternyata juga hinggap pada orang yang tingkat pendidikannya lebih baik di Amerika sana.
Pantai negara bagian Texas dilanda badai Ike hari Sabtu 13 September 2008. Hembusan angin dengan kecepatan 110 mil per jam (sekitar 180 km/jam) menyapu pantai yang menimbulkan gelombang besar, membanjiri ribuan rumah, merubuhkan banyak rumah, memecahkan kaca-kaca gedung tinggi, dan mengakibatkan putusnya aliran listrik untuk sekitar tiga juta orang yang diperkirakan untuk tiga minggu ini. Sampai malamnya, belum dapat diketahui berapa banyak korban nyawa atau cedera serta kerusakan yang terjadi karena jalan-jalan terputus. Pihak otoritas mengkhawatirkan ini jadi semacam “slow motion disaster” karena banyaknya orang yang terjebak badai di rumah-rumah mereka.

Upaya penyelamatan baru bisa mengevakuasi 300 orang, hanya sejumput dari ribuan orang yang masih terlantar di rumah-rumah yang kena banjir. Diperkirakan ada 140.000 orang yang mengabaikan perintah mengungsi kepada sekitar sejuta penduduk sebelum Badai Ike datang. Orang-orang Amerika yang “mada” ini nekad bertahan dan baru menyadari kekeliruan mereka setelah badai datang. Anehnya, mereka menuntut otoritas untuk menyelamatkan mereka semalaman yang tentunya tidak mungkin. Seorang lelaki 65 tahun yang berhasil diselamatkan dari trailernya ketika air sudah se lutut berkata: “Saya menemukan banyak sekali ular di rumah saya, jika tidak saya akan tetap bertahan.” Padahal ia kehilangan hartanya kecuali obat-obat dan rokoknya!!
Sekarang petugas penyelamat sedang berjuang hebat untuk menyelamatkan ribuan orang. Gubernur Texas sampai menyebutkan ini sebagai upaya SAR terbesar sepanjang sejarah Texas. Para petugas SAR sangat gusar dan frustrasi karena demikian banyak orang yang mengabaikan peringatan dini mereka. Seorang pejabat menyatakan kegusarannya: “Jika anda mengabaikan suatu peringatan, tidak hanya membahayakan diri anda sendiri tapi juga menimbulkan resiko bagi mereka yang akan melakukan pertolongan. Sementara ini kerugian akibat Badai Ike ditaksir minimal US$8 miliar.
Nampaknya sesuailah gambaran lelaki Amerika yang satu tadi dan mungkin juga ribuan orang lainnya yang terjebak badai itu dengan makna serta konotasi mada dalam bahsa Minang itu. Apa yang menyebabkan hal ini tentu pastinya kita belum tahu. Mungkin ini justru karena merasa lebih pintar dan tahu tentang banyak hal atau hanya karena arogansi, sebagaimana juga dapat kita amati dalam sikap pribadi George W. Bush, presiden mereka. Wallahualam. (sumber Yahoo News 14 September 2008 dan foto-foto http://www.khou.%20com/perl/%20common/slideshow%20/sspop.pl?)

04 September 2008

The 76ers

Back to the year 1976, some “green horns” stepped along Ganesha Street, Bandung. They were amongst 1275 new students of Bandung Institute of Technology (ITB) from all over Indonesia, called as Generation of 76. Today, after more than three decades, what is the figure of the 76ers at their fifties?

The story of this group begins with an internally hereditary claim: The Best Youngsters of Indonesia. It derived from the success in entering the university which was the most favorable one nationwide. As a settled university in science and engineering, many of its alumni professionally succeed their careers; economical national development fundamentally needed so many scientists and engineers, as well. No wonder if one applicant had to set about fifteen others aside which was considered as the toughest competition to enter a university at that time.

At the first year, accommodated in four area of study i.e. Science, Industrial Technology, Civil Engineering and Planning, and Arts, the new students attended matriculation class for one semester. Next, they followed two semesters of common first year.

In accordance with wide range of highschool quality, their academic progress were also widely various. The crowds enthusiastically paced their efforts to get good grades which governed the acceptance to a department for next study. In contrary, there were some students still in euphoria and crazy about the claim so that rather than about study they care more about non-academic activities and ITB trivia’s. Social and economical problems also influenced the success of each 76er.

Their achievement started to differ at the second year. Many successfully continued to expected department, some had to redo the first level and compete again at the following year. Like other generations at that era, the 76ers finished their study between two extreme situations: excellently early and unfortunately had to leave the campus by various cases after a time limit. It is very sorry that few passed away.

By the time, many things happened. Most of 76ers have been succeeding their careers or profession and have been developing themselves through formal education or professional trainings. They outspread around the country and overseas and are playing important roles; might be as an academician, professor, professional engineer, bureaucrat, banker, business person, politician, etc. Hopefully there is no idler or just a regular housewife since every single student was indirectly subsidized by government.





In 2006, the 76ers celebrated three decades of the generation. It had been well prepared by many activists of the group at least one year before. Tirelessly, data of the members were collected door to door so that a networking was also developed. The members responded the celebration by attending its agenda with own family respectively.

We don’t know either efforts to strengthen professionalism or simply brotherhood and some nostalgic backgrounds have been driving the networking still effective until now. Anyway, more than 1000 out of 1275 members had already registered and it is also recorded that 49 or about 3.8 percents members had passed away.



In conclusion, firstly, at their fifties most 76ers have already played each own important roles and socially and economically settled. However, referring to the number of who had passed away, the members have to put their attention on health and their way of life. Family and religious issues should be included also in agenda of the group. Secondly, even tough there is still no proof on professional project, this group has been developing a good networking successfully. A result of efforts to materialize such kind of activity seems on the way to go. The group may show to the national society a very strong concept and professional implementation of any collaboration-based project. Good luck, The 76ers...!!!

02 September 2008

Mutasi Versus Pembusukan

Tanggal 25 Agustus lalu terjadi mutasi (plus penonaktifan) sejumlah besar pejabat Eselon II dan III di lingkungan pemerintah Provinsi Riau. Perubahan itu dilakukan dengan harapan untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Beberapa person yang dinilai posnya kurang tepat dipindahkan ke tempat yang dianggap lebih pas supaya kinerjanya lebih baik.

Sebagaimana lazimnya, mutasi kali ini juga menimbulkan beragam reaksi. Meskipun Pelaksana Tugas Sekda Provinsi menyebutkan bahwa di lingkungan PNS mutasi adalah suatu hal yang biasa, namun tanggapan dari berbagai pihak tetap beragam. Sebagian menegaskan bahwa itu adalah wajar dan hak pimpinan, sebagian lain pula melihat hal yang kurang efektif. Apatah lagi ada empat belas orang pejabat eselon II yang tidak mendapatkan pos sama sekali; diantaranya ada yang tidak tahu apa kesalahannya.

Keadaan ini tentu sangat sulit disikapi karena ada dua hal yang kontradiktip. Satu pihak pimpinan punya penilaian dan kewenangan untuk menentukan pembantunya, di lain pihak masing-masing para pejabat yang terkena tentu merupakan seorang PNS karir yang tidak dengan mudah dan sederhana sampai ke posisinya. Keadaan ini tentu perlu dicari jalan tengah yang se-objektif mungkin (Sayangnya bersikap objektif inilah yang sulit bagi kita para khalik yang dhaif ini....).

Kalau dengan pemahaman secara sederhana, seseorang itu terkena mutasi atau perubahan jabatan itu karena tiga hal: 1). mendapat promosi ke posisi yang lebih tinggi atau sama tapi dianggap lebih berbobot karena kinerjanya baik, berprestasi, atau track recordnya tidak ada yang cacat, 2). sebagai tour of duty atau tour of area untuk penyegaran atau memperkaya visi dan sikap kepemimpinannya, 3). sebagai mekanisme pemberian sanksi karena pimpinan menilai ada yang tidak pas, misalnya: kinerja, keahlian, pendidikan, pengalaman, loyalitas (tentunya dalam arti luas), indispliner atau melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima.

Apapun, yang jelas masalah yang terkait ke pengembangan potensi SDM ini memang harus ditangani dengan kehati-hatian. Di tengah perjuangan kita untuk memajukan masyarakat dan bangsa ini, SDM di lingkungan pemerintah memainkan peran yang sangat penting. Bila SDM yang ada tidak ditingkatkan atau tidak berperan serta bermanfaat secara maksimal tentu kita juga yang akan rugi secara kolektif. Mutasi sesuai tujuan mulianya tentu tidak perlu berhadap-hadapan dengan pembusukan kelembagaan instansi pemerintah. Agar tidak terjebak kepada subjektifitas, politik praktis misalnya, tentu para PNS harus memperhatikan rambu-rambu birokrasi secara proporsional dan profesional.

Karena pimpinan berada pada domain lain, bagi seorang PNS tentu hanya bisa dan perlu menjaga kepentingan yang ada dalam garis demarkasinya. Karena itu hendaknya senantiasa mempertimbangkan hal-hal berikut: 1). jabatan birokrasi PNS merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat dengan undang-undang melalui pimpinan, 2). seorang pejabat dituntut untuk menjalankan amanah itu sesuai ketentuan yang ada dengan unjuk kerja yang terbaik dan benar sesuai kemampuannya, 3). penilaian dilakukan oleh dan merupakan hak atasan, 4). berdoa agar atasan berlaku objektif. Dengan demikian, apapun yang terjadi diharapkan tidak terlalu banyak merugikan seorang pejabat PNS in person sehingga dampaknya tidak menimbulkan pembusukan kelembagaan akibat melemahnya "the man behind the gun".

Mudah-mudahan Allah memberikan kasih sayangnya pada kita semua.