08 November 2009

Leadership of the Prophets: Kepengikutan

Kepemimpinan yang banyak berbicara tentang cara dan karakter seorang figur dalam berhubungan dengan lingkungan sosial dan kehidupannya, juga mempunyai satu komponen dasar yang tidak kalah penting: para pengikutnya. Seorang pemimpin akan exist kalau ada sikap kelompok orang yang menghormati, menauladani, dan mengikuti ajarannya dengan baik dan benar atau kita sebut sebagai kepengikutan. Karena itu dalam kepemimpinan, kepengikutan menjadi salah satu bahasan.

Kepengikutan juga dapat kita tinjau dengan pendekatan prophetic leadership dalam buku Pemimpin Istimewa Ala Rasulullah karya Imam Nawawi. Dalam melihat kepengikutan ini kita dapat mengacu pada banyak tuntunan yang berasal dari langit melalui contoh dari para Nabi (devine references). Yang paling sering dikutip sebagai pondasinya adalah firman Allah dalam Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat 59:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…”

Bagi orang-orang yang beriman, wajib baginya selain menaati Allah dan Rasul juga menaati para pemimpin mereka. Ketaatan kepada Allah mendapat tempat tertinggi yang asasi dan merupakan sumber dari berbagai ketaatan lainnya. Beriman dan taat kepada Allah berarti mengakui keberadaan dan kekuasaanNya, mengikuti segala perintahNya, dan meninggalkan segala laranganNya. Elaborasi dan implementasinya telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang harus ditaati oleh orang beriman.

Sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim berbunyi: “Barangsiapa taat kepada saya, ia taat kepada Allah. Barangsiapa melawan saya, ia melawan Allah. Barangsiapa taat kepada pemimpin negara, sebenarnya ia menaati saya. Barangsiapa melawan pemimpin negara, sebenarnya ia melawan saya.

Selanjutnya, yang menjadi fokus tulisan singkat ini adalah perihal kepengikutan yang mengacu pada prophetic leadership. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menggambarkan bagaimana ketaatan atau kepengikutan pada pemimpin itu.

Abdullah bin Umar r.a. berkata: “Orang Islam wajib mendengarkan dengan patuh dan taat segala arahan pemimpin, baik perkara itu disukai maupun dibenci, kecuali apabila ia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Apabila diperintahkan untuk melakukan maksiat, ia tidak boleh mematuhi perintah itu.”

Hadits ini menekankan bahwa wajib mematuhi pimpinan baik suka atau pun tidak, kecuali jika ia memerintahkan untuk melakukan kemusyrikan atau maksiat. Jika tidak, maka kita sudah ditunggu oleh sanksi sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Muslim berikut.

Abdullah bin Umar r.a. mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa tidak taat kepada penguasa, ia akan bertemu Allah pada Hari Kiamat nanti. Sementara pada saat itu ia tidak punya alasan untuk membela diri atas kesalahannya itu. Sesungguhnya, orang yang meninggal dunia sementara pada waktu itu ia tidak menaati pemimpin yang baik, ia akan mati dalam keadaan jahiliah, yaitu sesat.”

Kepengikutan itu juga tidak membedakan warna kulit seorang pemimpin. Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dengarlah dengan patuh dan taat, sekalipun pemimpin itu adalah hamba keturunan kulit hitam dan di kepalanya itu seakan-akan ada bintik hitam kecil-kecil.” Hadits ini tentu mengisyaratkan juga bahwa terhadap seorang pemimpin yang legitimate, kepengikutan itu mutlak.

Dalam hikayat Nabi Musa a.s. dengan pengikutnya bani Israil yang konflik dengan Fir’aun, terdapat pembelajaran tentang kepengikutan. Ketika lari dari kejaran Fir’aun dan lebih dari sejuta bala tentaranya, Nabi Musa dan sekitar 300 ribu bani Israil sampai ke pinggir Laut Merah sehingga banyak pengikutnya yang menjadi cemas dan mulai salah menyalahkan, termasuk pada Nabi Musa yang dianggap menyebabkan mereka akan dibantai pasukan Fir’aun. Nabi Musa yang berbuat berdasarkan tuntunan Allah tetap sangat yakin akan adanya jalan keluar dan menenangkan pengikutnya sambil menunggu petunjuk Allah.

Sementara pada saat kritis itu para pengikutnya mulai menghujat, dengan petunjuk Allah Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut yang menyebabkan air laut itu menyibak membentuk sebuah koridor jalan di dasar laut sehingga mereka bisa menyeberang. Bukannya bersyukur, sampai di seberang para pengikut Musa masih menghujat lagi karena kawatir tentara Fir’aun yang sedang ikut menyeberang di koridor itu akan menangkap mereka. Karena tidak istiqomah kepada pemimpin, mereka memaksa Musa untuk memukulkan lagi tongkatnya supaya laut bertaut kembali.

Musa tidak memukulkan tongkatnya karena kawatir ummatnya akan mempertuhankan tongkat itu, tetapi menyeru pertolongan kepada Allah yang menautkan kembali laut itu sehingga akhirnya Fir’aun dan bala tentaranya tenggelam. Moral dari hikayat ini, kepengikutan antara lain menuntut kesetiaan berdasarkan tauhid (devine based loyality), rasa istiqomah bersama pemimpin meskipun berkonsekuensi nyawa, dan etika atau kesantunan pada pemimpin.

Akan tetapi kepengikutan itu juga dikawal oleh suatu prinsip-prinsip yang digambarkan oleh hadits berikut. Nasa’I meriwayatkan: ”….. pada suatu saat seorang lelaki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Jihad seperti apakah yang lebih utama?’ Nabi Muhammad menjawab, ‘Mengucapkan kalimat benar di hadapan pemimpin yang zalim.’”

Mengutip kesaksian Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dalam sebuah hadits (riwayat Abu Daud, Tirmizi, dan Nasa’i): “….. saya juga pernah mendengar Nabi Muhammad bersabda, ‘Percayalah, apabila manusia melihat kezaliman, tetapi mereka tidak bangun menentang kezaliman itu, Allah menurunkan siksa-Nya kepada semua manusia.’”

Demikian pentingnya kepengikutan ini sehingga mendapat tempat yang khusus dari Al-Quran dan hadits. Berdasarkan buku Imam Nawawi itu, dapat kita ringkaskan dan sarikan konsep kepengikutan terhadap para pemimpin yang legitimate sebagaimana disyariatkan, antara lain sebagai berikut:

1. Wajib taat pada pemimpin berdasarkan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW (devine based loyality).

2. Wajib mematuhi arahan pemimpin atas suatu perkara dan berusaha melaksanakannya dengan baik, terlepas dari perkara itu disuka atau tidak, dalam keadaan susah atau senang, rela atau terpaksa, bahkan meskipun akan merugikan kepentingan sendiri, dan dengan tetap bersikap santun (istiqomah).

3. Orang yang memecah-belah persatuan ummat akan mati dalam keadaan mati jahiliah, yaitu sesat.

4. Tidak wajib mengikuti pimpinan yang memerintahkan untuk berbuat kemusyrikan dan maksiat.

5. Kepengikutan tidak mengenal perbedaan ras, warna kulit, asal lapisan sosial sang pemimpin.

6. Memegang janji setia yang dilakukan dengan sepenuh hati kepada pemimpin dan membelanya jika ada yang mencoba merampas kekuasaan pemimpin itu.

7. Tetap mendengarkan dan taat terhadap pemimpin meskipun ia tidak memberikan hak-hak pengikut yang menjadi tanggungjawabnya; para pengikut bertanggungjawab pula terhadap apa yang diamanahkan dan minta lah hak-hak itu kepada Allah.

8. Bersabar terhadap tindakan yang dibenci dari pemimpin, apalagi dia masih sholat bersama-sama ummat; jika seseorang membantahnya walaupun sedikit maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.

9. Dilarang merendah-rendahkan pemimpin (negara) karena Allah akan merendahkan diri pelakunya itu.

10. Berani menyampaikan kebenaran sekalipun di hadapan pemimpin yang zalim dan bangun untuk menentangnya jika melihat suatu kezaliman (sebagai civic responsibility) karena jika tidak maka Allah akan menurunkan siksaNya kepada semua manusia.

Nah, konsep dan norma sudah tersedia. Sekarang bagaimana kita menyikapinya? Semoga kepengikutan ini dapat kita cermati untuk menghindarkan sanksi Ilahiah dan membawa kemaslahatan bagi negeri kita dan orang banyak. Insya Allah.