03 Mei 2009

T o k o h

Tokoh adalah wujud dari kompetensi dan pengakuan. Seorang tokoh adalah seseorang yang kompeten dan menonjol dalam pencapaian hasil dalam suatu bidang yang diakui oleh orang-orang di dalamnya atau yang mengenal itu dengan baik. Karena itu, seorang tokoh sangat berpengaruh dan akan didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, atau dalam bahasa awam dituakan dalam kelompoknya.

Meskipun belum tentu tua secara umur, sang tokoh akan lebih dihormati dan jadi panutan ketika capaiannya lebih menonjol sehingga makin dikelilingi oleh para pengagum dan pengikutnya. Pada keadaan itu, pengaruh dan popularitasnya merambat ke luar lingkungan gerak langkahnya hingga tanpa peduli bidangnya jadilah ia sebuah lambang atau representasi dari kelompoknya. Tidak heran jika kita mendengar keberadaan tokoh dari berbagai bidang, sejak tokoh penjahat, tokoh masyarakat, tokoh penegak hukum, hingga tokoh ulama.

Namun ketokohan juga memiliki kenisbian. Seorang tokoh yang reputasinya terjaga dan konsisten akan tetap diakui sampai akhir hayat dan akan jadi legenda. Sebaliknya, meskipun mempunyai reputasi luar biasa seorang tokoh bisa meredup kalau reputasi itu tidak terjaga dan tidak berkembang dengan baik atau mengalami guncangan yang inkonsisten dengan moral lingkungan ketokohannya. Soerang tokoh kritis yang dianggap sebagai penyambung lidah rakyat misalnya, akan ditinggalkan atau digantikan oleh tokoh baru ketika ia kedapatan "berselingkuh" dengan pihak yang ia kritisi.

Banyak contoh lain yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Yang sangat menonjol adalah seorang tokoh ulama muda yang dengan izin Allah sangat sukses membangun citra dan branding dirinya dalam waktu relatif singkat sehingga mempunyai banyak pengagum, terutama kaum wanita. Kejayaan itu runtuh seketika waktu dia akhirnya menjelaskan pada publik tentang poligami yang dijalaninya. Meskipun mungkin tidak ada yang salah dan itu halal, para pengikutnya melihat itu sebagai suatu inkonsistensi terhadap moral yang diusung sang tokoh selama ini.

Hari ini, kita dikejutkan lagi dengan kasus yang terjadi pada seorang tokoh formal dalam penegakkan hukum bidang tindak pidana korupsi. Meskipun kita tetap berprasangka baik dan menerapkan azas presumption of innocent, berita tentang keterlibatannya dalam hal lain di luar bidang profesinya ini mengalahkan kehebohan politik yang biasanya mendominasi media dan langsung menjatuhkan citra tokoh tersebut.

Kedua tokoh ini memang fenomenal. Sang ulama yang sebenarnya sampai sekarang pun kompetensinya masih mengena di hati ini demikian memikat dan menimbulkan empati yang dalam pada jamaah. Pada masa jayanya ia diperlakukan bagaikan seorang wali yang dalam zaman modern ini otomatis masuk ke dunia selebriti.

Sementara sang tokoh hukum, dengan lembaga dan posisinya juga sudah demikian menonjol reputasinya. Oleh mereka yang jadi target lembaganya, ia bagaikan seorang malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Bagi para pendukungnya dan pejuang anti-korupsi pula, ia adalah seorang pahlawan penegakan hokum diantara sedikit yang kita punya hari ini. Apa pun, citra kedua tokoh ini sudah terlanjur runtuh yang sekali gus juga memudarkan ketokohannya.

Hilangnya ketokohan secara mendadak ini perlu juga kita lihat secara batin. Seorang teman pernah mengatakan bahwa ketika ketokohan seseorang sudah sampai pada posisi yang membahayakan atau merugikan dirinya atau pengikutnya secara akidah, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain, mestinya tokoh itu berhenti dan kembali ke relnya. Namun jika tidak disadarinya atau malah lupa diri (takabur) maka Allah lah yang akan menghentikan dengan cara-cara yang tak terduga. Karena itu kompetensi dan reputasi kita harus senantiasa berorientasi pada stake holder dan dalam koridor syariat. Ini lah moral tulisan ini yang mudah-mudahan jadi pelajaran bagi kita. Dalam Al-Quran telah disebutkan bahwa Allah akan memberikan kekuasaan kepada yang dikehendakiNya dan mencabut pula kekuasaan itu dari yang tidak dikehendakiNya. Wallahualam.