31 Oktober 2008

Danau Maninjau: An Unforgetable Beauty of Nature

“Ranah Minang adalah tanah dimana kasih sayang Allah tumpah,” demikian keyakinan banyak orang di Sumatera Barat. Betapa tidak, orang-orangnya pintar dan kreatif sejak dahulu; alamnya yang berada pada gugusan Bukit Barisan di pantai Barat Sumatera indah dan subur, banyak tempat-tempat menarik yang dapat dikunjungi. Ditambah dengan kedekatan budaya dan daya tarik kulinernya, wajar jika Sumatera Barat menjadi salah satu tujuan wisata orang Riau.

Beberapa waktu lalu, the Backpackers (the B) mengulangi kunjungan ke Maninjau dan Bukittinggi. Kedua daerah ini sudah baberapa kali kami kunjungi ketika empat anggota the B masih kecil sehingga kunjungan kali ini merupakan sebagian dari napak tilas dan mencoba melihat sisi lain yang ada di sekitarnya. Dengan menggunakan sebuah van yang kami kendarai sendiri, perjalanan yang dimulai ba’da Ashar langsung menuju ke Maninjau.

Nuansa positif dari perjalanan kami pertama sekali terasa ketika berhenti untuk sholat maghrib di sebuah masjid di daerah waduk Koto Panjang. Masjid itu cukup besar, terpelihara, dan bersih kamar mandi/WCnya, tanpa ada petugas masjid yang menyodor-nyodorkan kotak sumbangan. Mungkin selain karena faktor lokasi yang tepat dan luas, hal-hal tersebut menyebabkan para pelintas banyak yang mampir yang dengan sendirinya tentu banyak pula yang menyambangi kotak wakaf.

Satu hal yang kurang nyaman adalah kondisi jalan yang tidak begitu mulus, berbelok-belok dengan tanjakan dan penurunan di daerah perbukitan. Kebanyakan the B memilih tidur untuk menghindarkan rasa mual dan memang tidak banyak yang dapat dilihat dalam kegelapan malam. Kemacetan di daerah bottle neck Kelok Sembilan terobati melihat lampu-lampu kendaraan di jalan yang bertingkat-tingkat dan berkelok-kelok itu. Di daerah tanjakan itu sekarang sedang dibangun flyover untuk mengurangi derajad kecuraman jalannya. Selain itu, bayangan daerah tujuan yang tetap membuat semangat.


Sekitar pukul 23.00 kami sampai di resort Nuansa Maninjau yang sudah kami pesan untuk istirahat. Resort itu terletak persis di ketinggian sebelum menurun ke Danau Maninjau. Waktu siang hari, panorama dari resort yang sejuk itu ke arah danau sangat indah. Menyaksikan segala kebesaran Allah itu menyadarkan betapa kecilnya kita sebagai makhluk citaanNya. Kemudian pagi itu, The B yang yunior memanfaatkan itu untuk berenang dan berendam airpanas.

Siangnya kami menuruni jalan Kelok 44 menuju ke Danau Maninjau yang terlihat cool dan penuh misteri itu. Kecuali yang menyetir kendaraan, the B menikmati panorama yang indah di sepanjang turunan yang berkelok-kelok sebanyak 44 kali itu. Yang luar biasa adalah di daerah itu nampaknya masyarakat sangat memperhatikan kelestarian lingkungan alam yang menjadi benteng keterjalan kontur muka bumi. Pepohonan sangat rindang dan masih banyak kera hutan yang berkeliaran di pinggir jalan.

Danau Maninjau yang berjarak 140 Km dari Padang (36 Km dari Bukittinggi) ini alamnya menakjubkan dan subur; merupakan bekas letusan gunung api yang diduga terjadi 52 ribu tahun lalu. Danau vulkanik ini panjangnya 16 Km dengan lebar 7 Km atau dengan luas 99,5 Km persegi dan kedalaman mencapai 165 meter pada ketingian 461,5 meter di atas muka laut. Dengan kedalaman rata-rata 102 meter, danau yang banyak ditumbuhi ganggang dan airnya sejuk ini dimanfaatkan penduduk untuk melakukan kegiatan perikanan tangkap atau keramba.
Karena kami sudah pernah sampai di daerah danau dan perut masih kenyang, maka kami melanjutkan perjalanan sejauh 15 Km menyusuri pinggir danau yaitu desa Molek yang merupakan tempat kelahiran Buya Hamka.

(Sumber foto: pustaka.pu.go.id/detail.asp?module=1&id=80, www.visiting-place.blogspot.com/2008_04_01_ar..., www.pbase.com/markeast/image/68096731, indahnesia.com/picture/SBA/002/image.php)

30 Oktober 2008

Laskar Pelangi: Bisa Meneteskan Airmata Lebih Deras

Film Laskar Pelangi yang isinya jauh dari kemewahan, waktu diputar di teater-teater ternyata meledak. Jika ingin nonton, apalagi milih tempat duduknya, harus pesan tiket lebih dahulu. Film itu setting artistik dan ceritanya memang sangat bagus karena berdasarkan suatu kejadian asli yang dialami pengarangnya di Belitong (lebih sering ditulis Belitung).

Banyak yang memberi komentar bahwa film itu menggambarkan wajah pendidikan kita. Masyarakat di pedesaan apalagi yang kurang mampu sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Di lokasi-lokasi yang tidak terjangkau sekolah negeri, masyarakat mendirikan sekolah swasta dengan kondisi yang kembang kempis.

Bagi saya yang waktu SMP (1971-1972) pernah berada di Tanjung Balai Karimun, film itu tidak hanya sekedar menggambarkan dunia pendidikan kita tapi keadaan masyarakat kecil secara keseluruhan. Pulau Karimun di Provinsi Kepulauan Riau yang juga menghasilkan timah memiliki suasana lingkungan yang tidak jauh berbeda dengan Belitong. Sebagaimana juga di Singkep, terjadi disparitas sosial dan ekonomi yang mencolok antara lingkungan tambang timah dan masyarakat biasa.

Sebagai contoh, ketika masyarakat biasa harus berebut-rebut naik bis yang sangat sederhana, teman-teman sekolah saya dari perumahan PN Timah (populer dengan singkat PN) sudah diantar dengan bis sekolah khusus yang kondisinya lebih baik. Ketika kebanyakan murid hanya punya satu pasang sepatu untuk segala kegiatan, anak dari PN ada yang sudah memakai jaket jean Lee yang original dan membawa buah apel ke ke sekolah. Ketika sebagian dari kami menjauhi kantin sekolah karena tidak punya uang jajan, anak-anak PN sering dengan murah hati mentraktir teman-teman. Alhamdulillah, sebagaimana dalam film Laskar Pelangi, ternyata anak-anak non-PN yang hidupnya lebih bersahaja banyak yang prestasinya lebih baik.
Kesenjangan ini tidak hanya terjadi diantara anak-anak sekolah yang lebih melihat dengan cara sederhana tapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Pada hari-hari orang PN turun ke kota dari permukiman mereka yang berjarak sekitar satu jam dengan mobil, maka pasar juga jadi lebih ramai. Keadaan ini, khususnya pada awal bulan, kadang menyebabkan naiknya harga-harga di pasar. Sementara aktifitas ekonomi di lingkungan PN cenderung tidak mengalir ke luar, masyarakat tempatan lebih banyak sebagai penonton atraksi yang penuh dengan atribut konsumerisme itu.
Jika ada orang-orang yang bisa ikut bekerja di PN, kebanyakan hanya pada peran-peran harian atau tidak penting. Beberapa orang tetangga saya ketika itu dapat kesempatan untuk jadi satpam atau buruh harian yang biasanya tidak tahan lama karena tidak biasa dengan kerja berat dan teratur. Jika punya keahlian olahraga volly (tim volly PN sering jadi juara kecamatan) maka akan sedikit lebih beruntung dipekerjakan di kantor. Jika tak punya keterampilan, tak ada koneksi, atau nasib kurang baik maka jadilah para pemuda sebagai penonton yang penuh cemburu sehingga sering bentrok dengan para pemuda atau pegawai warga PN.


Bukannya karena ketika itu saya masih SMP sehingga tidak tahu apa yang terjadi, tapi dari informasi yang saya tahu sampai hari ini, ketika itu memang tidak ada program community development (CD) atau corporate social responsibility (CSR) dari PN Timah untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan konsesinya sebagaimana sekarang. PN merasa bekerja sesuai dengan tugas atau misinya, sedangkan masyarakat tempatan melihat bagaimana bumi mereka dikeduk tanpa membawa banyak perubahan pada kehidupan mereka.
Belum lagi jika kita bicara aspek lingkungan; ribuan hektar muka tanah dan laut cedera dan robek oleh kegiatan tambang yang sampai hari ini nampaknya tidak ada program recovery yang konseptual dan efektif. Di Singkep dan Karimun kita masih bisa menjumpai lobang-lobang kolam raksasa (ada yang menyebutnya kolong) peninggalan kapal keruk timah yang lebih banyak membawa mudarat. Kompleks daerah operasi di dua pulau ini ketika kegiatan PN Timah berakhir juga ditinggalkan begitu saja. Kantor, rumah sakit, sekolah, dan perumahan banyak yang terlantar karena serah terima asetnya (sebelum reformasi) tidak lengkap dengan program pemeliharaan dan pemanfaatan.

Karena itulah, bagi orang yang tahu riwayatnya atau masyarakat tempatan di pulau-pulau bekas tambang timah, film Laskar Pelangi rasanya akan dapat meneteskan airmata lebih deras lagi ketimbang ketika menceritakan Lintang meninggalkan sekolah reot dan gurunya yang penuh kasih itu. Itu jika kolong-kolong sisa tambang timah juga diperlihatkan.

23 Oktober 2008

Bintan: Lagoi nan Eksklusif dan Nostagia Batam

Bintan juga punya kawasan wisata yang ekslusif. Hari ke tiga kami akan mengunjungi Lagoi dan menruskan perjalanan ke Batam yang merupakan kota nostalgia The Backpackers (the B). Setelah sarapan kami check-out dan meluncur menuju ke kawasan wisata Lagoi di Bintan Utara. Jalan yang kami ikuti, sebelum berbelok ke Barat di daerah Berakit untuk masuk kembali ke jalan arteri Bintan, masih menyusuri tepi pantai melewati kawasan wisata Pantai Trikora. Selain beberapa resort, daerah ini merupakan kawasan wisata umum yang banyak dikunjungi pada hari-hari libur.


Pantai Trikora
Terletak di sebuah teluk, Pantai Trikora merupakan pantai yang landai dengan hamparan pasir putih yang disambut oleh lidah laut nan biru dan tenang. Tebing pantainya juga masih kombinasi antara pepohonan dan singkapan batuan granit yang terajut menjadi gubahan alam yang mendecakkan. Ketika saya mampir beberapa waktu dulu, cukup ramai pengunjung yang menikmati keindahan pantai atau bermain di laut sambil menikmati kelapa muda di bawah lambaian pohon kelapa.

Sayang sekali objek wisata ini baru dikembangkan sekedarnya. Tempat pengunjung dikelola oleh masyarakat secara tradisional; ketersediaan sarana dan layanan masih sangat minimal dan seadanya, termasuk urusan kebersihan. Entah karena lahan-lahan disepanjang pantai itu milik perorangan atau karena hanya mengandalkan sumberdaya manusia dan dana pemerintah daerah saja, kawasan wisata ini bagaikan batu mulia yang belum diasah. Selain pantai, kebun kelapa yang sudah tua dan rerimbunan hutan belukar sepanjang jalan merupakan pemandangan yang menarik.

Jalan menuju Lagoi di sekitar pantai Trikora

Jalan lokal dari Trikora ke Lagoi ini sangat cocok untuk mereka yang suka road cycling, pikir saya. Ketika saya surfing di internet, ternyata memang sudah ada klub sepeda demikian yang didirikan oleh orang dan bermarkas di Singapura!! Kadang sedih juga kok banyak tempat-tempat di negeri kita lebih dinikmati oleh orang dengan murah tanpa banyak membawa dampak kemakmuran pada masyarakat setempat.

Perjalanan ke Lagoi makan waktu hampir dua jam, termasuk di jalan dalam kawasan wisata Lagoi. Jalan yang dibuat oleh pengembang sangat mulus dengan geometri yang baik. Tempat yang kami tuju adalah Pantai Mana-Mana yang sekarang namanya Nirwana Beach Club.


Nirwana Beach Club (dulu pantai Mana-Mana), Lagoi

Kawasan Lagoi yang diresmikan oleh Presiden Soeharto dan PM Singapura Goh Chok Tong 18 Juni 1996 ini memang ekslusif. Disana terdapat beberapa resort pantai mewah dengan hotel bintang lima dan lapangan golf yang lebih cenderung dipasarkan untuk orang asing melalui Singapura. Ada satu hole par 3 di padang golf Ria Bintan yang terkenal karena pemandangannya sungguh breathtaking. Jumlah kunjungan wisman mencapai 40 ribu orang per bulan dengan tarif dollar sehingga menjadi kawasan yang asing bagi masyarakat Bintan sendiri. Karena itu juga, the B memilih menginap di Teluk Bakau dan hanya mencoba berbagai alat water sports di Nirwana Beach Club sampai sekitar jam 14.00, kemudian menuju Tanjung Uban.


Breathtaking Hole 9 (Par 3) of Ria Bintan Golf Course (from Internet)

Setelah makan siang di Tanjung Uban kami langsung menyeberang ke Telaga Punggur, Batam, dengan speedboat umum dan menuju ke arah kota. Di daerah Sukajadi kami mampir untuk sholat di sebuat masjid yang cantik dan bersih, sebelum mengenang masa lalu ketika kami tinggal di Sungai Harapan, Batam, tahun 1993-1994. Pertama kami mengantarkan Affan melihat sekolah TK Kartini-nya, ke rumah yang pernah kami tempati, terus ke SD Kartini tempat Ashri dan Dani sekolah, dan Kantor Dinas PU Batam.
Tak lupa kami juga menyempatkan berputar-putar di kawasan perbelanjaan Nagoya. Sangat terasa saat ini tidak begitu ramai lagi pengunjung di Nagoya; selain keperluan wanita seperti parfum, tas, sepatu, dan semacamnya, barang-barang yang dijual juga terbatas dan kurang uptodate. Kami coba window shopping di toko kamera dan alat-alat komputer, lebih baik kita membeli barang-barang sejenis di Jakarta yang lebih lengkap dan harganya hampir sama.
Malam itu kami kembali menyempatkan menikmati kuliner ikan di Seafood Sampan. Disebut demikian karena tempat makan ini memajangkan ikan mentahnya dalam wadah berupa sampan untuk dipilih oleh peminat; bisa dibakar, goreng, steam, masak asam manis atau tauco. Kami memilih menikmati ikan lobam (baronang) bakar, kangkung belacan (cah terasi), dan lokan asam manis di meja di bawah langit, sesuai dengan ke khasan makan di situ.

Setelah beristirahat malamnya, hari berikutnya adalah perpisahan. Anggota the B terbagi dua; tiga orang yang kuliah di Bandung langsung dari Batam ke Jakarta sedangkan saya bertiga kembali ke Pekanbaru. Meskipun kami sudah bersama-sama tiga hari, perpisahan itu terasa cukup menyesakkan karena tidak berlangsung di rumah. Dengan sedikit sendu dan mata berkaca-kaca the B masuk ke dua ruang tunggu bandara yang berbeda. Anyway, alhamdulillah kami sudah diberi kesempatan untuk mengagumi kebesaranNya dengan penuh rasa kebersamaan.

20 Oktober 2008

Bintan: Lingkungan Bahari Nan Kaya

Bintan memang lingkungan bahari nan kaya. Hari kedua di Bintan, kami menghabiskan hari untuk melaut. Jam 10 pagi The Backpackers (the B: saya, isteri, Ashri, Dani, Affan, dan Dinda) serta dua orang wisatawan Singapura yang dikawal dua orang pemandu, dengan menggunakan speedboat meninggalkan jetty Bintan Agro menuju kawasan Pulau Mapur, lokasi snorekeling. Perjalanan dalam cuaca cerah dan tenang itu ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit. Pulau ini dan beberapa pulau lainnya yang berada di depan Teluk Bakau melindungi teluk itu dari terpaan langsung gelombang Laut Cina Selatan.

Laut di Teluk Bakau membiru berkilauan diterpa cahaya mentari pagi itu. Masing-masing the B yang sudah siap dengan perlengkapannya penuh keingintahuan seperti apa keindahan laut dan karang di sekitar Bintan ini. Salah seorang anggota the B yang sudah pernah menyelam di Lampung, Pulau Seribu, dan Tulamben Bali banyak memberi info tentang keindahan terumbu karang dan fauna di tempat-tempat lain itu.
Jika anda sudah menonton film Laskar Pelangi, di gugusan pulau-pulau sekitar Bintan juga banyak singkapan batu granit seperti di Belitong. Meski kami tidak mendarat di pasir putih yang membentang, pulau-pulau itu sangat indah dan jika direnungkan ia mampu mengecilkan kita sebagai hamba Allah Sang Maha Pencipta. Keindahan pulau-pulau yang kebanyakan kosong ini membangkitkan rasa ingin berlama-lama di sana.
Sampai di lokasi di depan pantai Pulai Mapur boat berhenti dan jangkar dilemparkan. Ditemani dua pemandu itu, satu persatu peserta termasuk dua Singaporean itu mencebur ke air, kecuali saya dan isteri, yang tetap mengenakan pelampung sampai beberapa waktu kemudian dilepasnya karena kepanasan. Si gadis kecil kami juga sempat menikmati pemandangan indah dasar laut itu beberapa puluh menit dengan kawalan abang-abangnya secara bergantian. Lautnya sangat jernih dan bersih dengan kedalaman 2 sampai 4 meter sehingga dari atas boat kami juga dapat melihat dasar laut yang penuh karang.
Ketika beristirahat di atas boat, mereka menceritakan pengalaman masing-masing. Ashri melihat banyak rumpun karang yang lebih indah dengan ikan yang relatif lebih banyak di daerah tubir (tebing curam dasar laut) yang agak jauh dari boat. Saat kami disitu, ikan agak kurang di karang karena sedang pergi ke bagian yang lebih dalam melewati tubir; setelah hari agak teduh sorenya, ikan-ikan itu baru akan kembali ke daerah karang yang lebih dangkal.
Dani yang aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa "Nautika" (pencinta selam) di ITB menyebutkan bahwa meskipun tidak seindah di Tulamben Bali, karang yang ada disitu cukup indah seperti yang ada di Pulau Seribu. Bahkan dia menjumpai jenis yang berwarna hijau-biru yang dia tidak tau jenisnya dan habitat karang yang masih sangat perawan. Karena itu dia sangat menyayangkan adanya jangkar besi yang dilemparkan tadi yang mana pada saat diangkat nanti akan merusak karang yang baru akan tumbuh jadi seukuran itu lagi sekitar 10 tahun kemudian. Jangankan kena jangkar, dipegang manusia pun karang itu akan terpengaruh pertumbuhannya. Terlepas dari environmental concern itu, yang pasti semua sangat senang menikmati keindahan karang disitu sehingga tak terasa hari sudah siang.
Perjalanan pulang diarahkan ke dua pulau yang lebih dekat dengan pantai Bintan di Teluk Bakau. Yang pertama, di Pulau Beralas terdapat resort kecil dengan cottage-cottage ala Papua di depan pantai yang berpasir sangat putih yang hanya kami lewati saja. Menurut pemandu, untuk menikmati resort yang sangat indah dan tenang itu kita harus merogoh kocek tak kurang dari S$1.000 per malam. Itu pun harus booking dulu sebelumnya melalui agen pemasaran di Singapura.
Pulau yang kedua adalah Pulau Pasir Putih yang tidak kalah cantiknya namun di sana hanya ada beberapa pondok tempat nelayan berhenti. Kami turun untuk bermain-main di pantainya yang lautnya jernih. Ketika kami datang beberapa orang putih (bule) sedang bersiap-siap akan kembali ke salah satu resort di pantai Teluk Bakau. Sangat luar biasa pengalaman bahari hari itu, sampai jam 14.00 tidak terasa bahwa perut sudah lapar. Sesegera sampai kembali di resort kami makan ala fastfood dan istirahat atau bermain-main sampai menjelang maghrib.
Hari kedua ini kami memang benar-benar dapat menikmati keindahan ciptaan Allah yang tidak jauh dan asing dari kediaman kami di Pekanbaru. Kegiatan melaut dan snorekeling terasa sangat memuaskan, sepadan lah dengan biaya Rp400 ribu per orangnya.
Malamnya kami kembali candle light diner dengan menu seafood yang berbeda. Ada menu khusus malam itu: gonggong, semacam siput laut yang direbus kemudian makannya dicacah dengan saus kacang agak pedas. Gonggong ini didapat dari laut sekitar Bintan karenanya, itu memang hanya populer di sekitarnya dan Batam. Cara makannya mula-mula "kaki"nya yang seperti kuku kepiting ditarik keluar, jika tidak terjangkau jari digunakan garpu kecil atau tusuk gigi. Kemudian ditarik pelan-pelan sehingga seluruh badannya terbawa. Tinggal dicacah dan hm.. ke dalam mulut... kecuali kukunya yang berzat tanduk itu...
Selesai makan malam, selanjutya kami simpan tenaga karena pagi besoknya akan melanjutkan perjalanan ke kawasan wisata Lagoi, Bintan bagian Utara yang terkenal itu.

18 Oktober 2008

Bintan: Keindahan di Depan Mata

Minggu kedua Oktober lalu, ketika anak-anak masih libur, kami The Backpackers (the B) mengunjungi Pulau Bintan. Lokasi di Provinsi Kepulauan Riau ini dipilih karena cukup kami kenal dan relatif dekat dan akrab dengan para anggota the B. Point of interest di pulau yang dekat dengan Batam dan Singapura ini juga sesuai dengan keinginan untuk menikmati kuliner, melakukan aktifitas water sports, dan mengakui kebesaran Allah melalui keindahan alamNya.

Berdasarkan info dan pengalaman, kami mengkaji dan merencanakan perjalanan sejak jauh hari. Transportasi dan hotel kami pesan baik langsung atau melalui sahabat yang ada di Kepulauan Riau maupun dengan internet. Itenerary empat hari tiga malam (4D3N) kami adalah Tanjung Pinang, Bintan Agro Beach Resort di daerah Teluk Bakau, Nirwana Beach Club (dulu Pantai Mana-Mana) di Lagoi, dan Batam. Sebenarnya banyak resort di sekitar Teluk Bakau, Pantai Trikora, atau Lagoi yang terkenal itu tapi dari segi akses, tarif, fasilitas, objek yang ditawarkan, dan service, Bintan Agro ini lah yang paling optimal.


Menyesuaikan jadual dengan kalender akademis para yunior, kami menghindarkan peak season agar benar-benar dapat menikmati perjalanan ini. Karena pada hari libur umum, Batam atau Bintan merupakan jalur padat dan daerah Lagoi di Bintan Utara sudah terkenal sudah fully booked secara tahunan pada hari libur umum, maka kami memilih hari kerja melakukan perjalanan ini yang ternyata pilihan yang sangat tepat.

Perjalanan dimulai dengan Riau Airlines (pesawat Fokker F50) ke Tanjung Pinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau yang terletak di pantai Selatan Pulau Bintan. Sesuai dengan waktunya, dengan mikrobus resort yang menjemput ke bandara kami melakukan city tour dan makan siang di Tanjung Pinang. Kota yang terkenal dengan kuliner seafood yang lezatdi ini cukup indah, berbukit-bukit yang terletak di pinggir laut. Kami memilih sebuah kedai makan kecil, Kedai Kopi Santai, di daerah Temiang yang menyajikan asam pedas kepala ikan yang sangat khas dan terkenal di kalangan pencinta kuliner ikan.

Sang nyonya penjual dengan sigap memasak satu persatu setengah kepala dan badan ikan merah dengan ukuran kira-kita selebar telapak tangan yang disajikan panas-panas. Bumbunya, sawi asin, dan nanas membuat aroma yang mengundang dan rasanya memang istimewa: asam, gurih, pedas, dan manis yang pas. Seorang anggota the B langsung menirukan gaya Bondan ketika mengapresiasi masakan di tivi. Maknyuusss….


Sebenarnya selain wisata kuliner, di Tanjung Pinang ada tujuan wisata yang tidak boleh terlewatkan: Pulau Penyengat di depan pantai Tanjung Pinang. Di pulau yang dapat dicapai dengan pompong (boat kayu kecil bermesin, di daerah lain disebut klotok) hanya sekitar 20 menit, terdapat jejak langkah sejarah dan sastera Melayu yang terpatri dengan baik. Kebanyakan kita tentu pernah mendengar Gurindam 12 karya Raja Ali Haji? Akan tetapi karena semua the B sudah pernah ke sana (tentang ini Insya Allah akan kami tulis sendiri), maka setelah makan, kami langsung ke Teluk Bakau.




Perjalanan sejauh 35 km menempuh daerah rural Bintan yang mempunyai variasi alam dan akulturasi berbagai budaya. Di simpang ke desa Kawal, ada beberapa kedai kopi Cina yang menyajikan kopi, nasi lemak, dan otak-otak yang merupakan sentuhan harmonis antara etnis Melayu dan Cina yang telah turun temurun disitu. Selepas daerah itu, jalan mulai meyusuri pantai yang banyak dihuni para nelayan, tidak hanya yang tradisional tapi juga yang pergi menangkap ikan berminggu-minggu sampai ke Laut Cina Selatan. Jalan makin dekat ke pantai dan keindahannya memang membuat tidak sabar untuk segera bermain di pantai.

Pantai Teluk Bakau sangat landai sehingga sangat dipengaruhi pasang surut. Pada saat pasang, teluk itu jadi semacam kolam biru yang luas sekali dengan bibir pasir yang putih dengan kombinasi pepohonan dengan bongkahan-bongkahan batu granit yang mencuat muka ke bumi. Ditambah dengan lambaian kelapa, kawasan yang indah ini memang pantas jadi tujuan wisata yang pada hari libur, banyak dikunjungi wisatawan mancanegara yang datang via Singapura atau Malaysia. Sebaliknya wisatawan domestik belum banyak yang tahu tentang keindahan dan kenyaman di Bintan Agro Beach Resort and Spa yang ada di depan mata ini. Bayangkan sedapnya ketika dipijat refeksi di pondok tepi pantai sambil ditiup angin semilir dan didendangkan riak ombak lamat-lamat.

Di resort ini juga tersedia berbagai fasilitas rekreasi dan olahraga. Didarat kita bisa bersepeda atau olahraga sepakbola dan volley pantai, disamping kolam renang ukuran sedang. Untuk water sports ada kayak, flying fish, banana boat, kite surfing, dan snorekeling. Khusus yang terakhir ini akan jadi cerita tersendiri.

Siang sampai sore hari pertama kami di Teluk Bakau dihabiskan oleh the B untuk mengeksplore resort itu dan menikmati cycling, kayaking, refleksi atau main bola di pasir. Malamnya kami berenam menikmati "candle light diner" dengan kuliner seafood segar dan lezat yang sudah kami pesan sejak sore. Sebelum beristirahat kami bisa nonton berbagai acara menarik dari tivi Indonesia, Malysia, dan Singapura sambil tak sabar menunggu hari esok untuk pergi ke laut tempat snorekeling.