09 Oktober 2009

Pengalaman Terhindar dari Bencana (1)

Tidak ada seorang pun dari kita yang ingin mengalami bencana. Disebut bencana karena selain memberi beban psikis, secara lahiriah senantiasa membawa kesulitan atau kesusahan, sejak dari kerugian harta benda sampai ke kehilangan jiwa. Karena itu jika kita lolos dari suatu bencana merupakan suatu pengalaman yang luar biasa berharga yang perlu dan Insya Allah bermanfaat untuk diceritakan kembali.

Sampai hari ini, saya sudah pernah mengalami beberapa kali selamat dari bencana. Semua pengalaman itu selain menuntut kerugian materil sebenarnya juga mengancam jiwa dan raga. Alhamdulillah, berkat Rahman dan RahimNya, saya selamat dari dari kejadian-kejadian itu.

Pengalaman pertama saya terkait ke suatu bencana adalah ketika terhindar dari penerbangan maut Garuda GIA 152 Jakarta-Medan tanggal 26 September 1997. Saat itu sedang puncak-puncaknya gangguan kabut di Indonesia bagian Barat sehingga aktivitas penerbangan banyak yang terganggu, termasuk bandar udara Sultan Syarif Kasim II (SSK II) Pekanbaru tidak bisa melayani penerbangan.

Ketika itu saya dan beberapa kolega mengikuti Konferensi Regional Teknik Jalan (KRTJ) ke 5 di Yogyakarta tanggal 22-24 September 1997. Setelah sampai di Yogyakarta, karena bandara SSK II sudah tidak bisa didarati akibat kabut asap yang sangat tebal maka kami dengan segera merubah tiket pulang dari Jakarta ke Pekanbaru menjadi ke Medan yang masih bisa melayani penerbangan dengan maksud berikutnya akan menggunakan jalur darat ke Pekanbaru. Semula semua berencana untuk berhenti dan menginap dulu sehari di Jakarta sambil menunggu kemungkinan terbukanya kembali penerbangan ke Pekanbaru atau jika tetap tidak memungkinkan baru pulang melalui Medan pada tanggal 26 September.

Akan tetapi ketika memesan tiket di biro perjalanan yang ada di hotel, dengan kuasa Allah Swt, semua kami sepakat untuk langsung saja dari Yogyakarta ke Medan tanggal 25 September. Karena itu kami membatalkan penerbangan Jakarta ke Medan dengan flight GIA 152 tanggal 26 September yang sudah kami pesan beberapa saat sebelumnya dan menggantinya dengan connecting flight dari Yogyakarta tanggal 25 September.

Sesampainya di Medan kami menyempatkan olahraga di padang golf Tuntungan, daerah perbukitan ke arah Sibolangit, sebelum kembali ke Pekanbaru. Waktu di Tuntungan, di salah satu hole menjelang selesai, secara pribadi saya memang mendengar suara aneh; seperti mesin yang meraung dan tiba-tiba mati. Ketika saya konfirmasi kepada teman-teman lain, tidak ada yang mendengar dengan jelas sehingga kami semua lupa dengan suara aneh itu sampai berangkat menuju Medan kembali.

Keheranan itu kembali muncul ketika kami melintas dekat ujung landasan Polonia, Medan. Bandara kelihatan ekstra sibuk kemuadia dapat kabar bandara ditutup karena ada pesawat yang jatuh. Ketika di perjalanan dari Medan ke Pekanbaru, di sekitar Tebing Tinggi akhirnya kami mendapat kabar tentang jatuhnya pesawat Airbus A300-B4 Garuda Flight GIA 152 itu yang rencana semula akan kami tumpangi itu di Desa Buah Nabar, Sibolangit, Deli Serdang yang jaraknya sekitar 32 km dari bandara Polonia. Kecelakaan yang memakan 234 orang korban ini diduga akibat pendeknya jarak pandang karena gangguan asap sehingga pesawat menabrak tebing di pegunungan.

Dengan rasa campur aduk antara bersyukur telah terhindar dari bencana maut dan dukacita yang mendalam, di perjalanan kami berkomunikasi dengan keluarga masing-masing yang cemas serta terus memantau dan nama-nama korban yang kami kenal karena memang jalur penerbangan melalui Medan adalah cara yang paling laik untuk ke Pekanbaru. Selain itu, diantara para korban, banyak kolega-kolega kami termasuk para peserta KRTJ ke 5 dari Aceh dan Sumut sebagaimana terlihat dari berserakannya tas gift peserta KRTJ itu dalam liputan-liputan berita TV. Beberapa diantaranya kami kenal secara langsung!!! Naudzubillahi.

Memang, jika belum waktunya ajal kita atau sakit, dan cedera, ada saja sebab yang menghindarkan kita. Kadang-kadang hal itu sangat tidak rasional dan tidak logis sehingga kita sering jadi tidak sabar atau bahkan menggerutu menerima suatu keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita semula. Ketika itu, yang saya ketahui kemudian, ada beberapa orang kolega yang kecewa tidak jadi berangkat dengan pesawat naas itu karena telat, tidak dapat tiket, dan bahkan kena kensel. Sebaliknya, sepasang suami-isteri kolega kerja yang menetap di Jakarta, ikut jadi korban setelah melalui pemilihan mereka memenangkan dua tiket yang disediakan sebuah keluarga yang akan menyelenggarakan hajat di Medan, mewakili teman-temanya se kantor. Setelah kejadian kita baru melihat mana baik dan mana buruk yang mungkin juga berbeda pada orong per orang. Yang selamat belum tentu baik sedangkan yang menjadi korban belum tentu pula tidak baik. Wallahu alam, hanya Allah lah yang tahu.

Karena itu lah kita harus tetap berbaik sangka (husnuzhon) pada Allah karena kita tidak tahu apa yang ada di balik suatu hal atau keadaan yang sekalipun kita rasakan pahit. Bencana harus kita baca sebagai peringatan atas kekurangan kita dan agar segera memperbaiki diri.

Hikmahnya dalam kehidupan, pertama, sekarang tiap kali naik pesawat saya pasrah saja sambil berdoa kepada Allah mengharapkan perlindungan dan keselamatan. Kedua, ketika boarding saya selalu mengirim sms kepada keluarga, misalnya: “Boarding now on Garuda GA 171 leaving for Jakarta.” Semoga Allah menghindarkan kita semua dari segala bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar