11 Desember 2008

Tulus versus Pamrih

Tulus dan pamrih adalah dua kata yang menggambarkan tingkah hati yang tercermin pada laku. Keduanya melalui proses dan gerak yang sama, namun nilainya sangat bertolak belakang yang hanya dapat dibunyikan oleh nurani. Bagaikan dipisahkan oleh selembar membran tipis, kita sulit menemukan arah tingkah hati ini yang sebenarnya, sampai gerak pelakunya selesai atau dihakimi oleh waktu jauh di kemudian hari.

Karena itu, dalam berinteraksi dengan sesama, senantiasa terjadi irama dan riak yang berangkat dari ekspektasi atau prediksi dan realita dari suatu gerak atau laku. Pengalaman yang ada mendorong hati kita ke prediksi negatif (terminologi agamanya: su’uzhon) tapi akan mendapatkan keterkejutan jika realitanya positif. Sebaliknya, ekspektasi yang senantiasa positif (husnuzhon) akan menimbulkan kekecewaan dan appresiasi buruk jika realitanya negatif.

Kemaren, saya mengalami kekecewaan itu karena terjadi pada lingkungan yang dekat sekali. Berangkat dari sikap husnuzhon maka sudah semestinya memberikan kepercayaan pada pihak yang layak dan sepatutnya akan melakukan sesuatu dengan tulus. Ternyata waktu menunjukkan realita yang berbeda; kepercayaan yang terang benderang disambut dengan pamrih secara diam-diam!

Sebagai komtemplasi, jadinya timbul tanya apakah demikian kehidupan itu; sudah demikian langka orang yang melakukan sesuatu dengan tulus? Atau justru kepercayaan itu yang tidak proporsional dan tanpa saya sadari memberikannya tidak pula dengan tulus? Mudah-mudahan Allah mengampuni kita semua.

3 komentar:

  1. pamrih tentu ada dalam setiap perbuatan. tetapi pamrih yang tak sia sia, kata ustad, adalah yang bertujuan untuk menjadi amal saleh

    BalasHapus
  2. Betul, pamrih dari yang paling tidak terpuji sampai yang sangat mulia dan kita harapkan, karena mencari ridhoNya.

    BalasHapus
  3. Iklas untuk berbuat yang terbaik tentu lebih mulia tanpa harus memusingkan apa yg akan didapat.

    BalasHapus