08 November 2009

Leadership of the Prophets: Kepengikutan

Kepemimpinan yang banyak berbicara tentang cara dan karakter seorang figur dalam berhubungan dengan lingkungan sosial dan kehidupannya, juga mempunyai satu komponen dasar yang tidak kalah penting: para pengikutnya. Seorang pemimpin akan exist kalau ada sikap kelompok orang yang menghormati, menauladani, dan mengikuti ajarannya dengan baik dan benar atau kita sebut sebagai kepengikutan. Karena itu dalam kepemimpinan, kepengikutan menjadi salah satu bahasan.

Kepengikutan juga dapat kita tinjau dengan pendekatan prophetic leadership dalam buku Pemimpin Istimewa Ala Rasulullah karya Imam Nawawi. Dalam melihat kepengikutan ini kita dapat mengacu pada banyak tuntunan yang berasal dari langit melalui contoh dari para Nabi (devine references). Yang paling sering dikutip sebagai pondasinya adalah firman Allah dalam Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat 59:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…”

Bagi orang-orang yang beriman, wajib baginya selain menaati Allah dan Rasul juga menaati para pemimpin mereka. Ketaatan kepada Allah mendapat tempat tertinggi yang asasi dan merupakan sumber dari berbagai ketaatan lainnya. Beriman dan taat kepada Allah berarti mengakui keberadaan dan kekuasaanNya, mengikuti segala perintahNya, dan meninggalkan segala laranganNya. Elaborasi dan implementasinya telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang harus ditaati oleh orang beriman.

Sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim berbunyi: “Barangsiapa taat kepada saya, ia taat kepada Allah. Barangsiapa melawan saya, ia melawan Allah. Barangsiapa taat kepada pemimpin negara, sebenarnya ia menaati saya. Barangsiapa melawan pemimpin negara, sebenarnya ia melawan saya.

Selanjutnya, yang menjadi fokus tulisan singkat ini adalah perihal kepengikutan yang mengacu pada prophetic leadership. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menggambarkan bagaimana ketaatan atau kepengikutan pada pemimpin itu.

Abdullah bin Umar r.a. berkata: “Orang Islam wajib mendengarkan dengan patuh dan taat segala arahan pemimpin, baik perkara itu disukai maupun dibenci, kecuali apabila ia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Apabila diperintahkan untuk melakukan maksiat, ia tidak boleh mematuhi perintah itu.”

Hadits ini menekankan bahwa wajib mematuhi pimpinan baik suka atau pun tidak, kecuali jika ia memerintahkan untuk melakukan kemusyrikan atau maksiat. Jika tidak, maka kita sudah ditunggu oleh sanksi sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Muslim berikut.

Abdullah bin Umar r.a. mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa tidak taat kepada penguasa, ia akan bertemu Allah pada Hari Kiamat nanti. Sementara pada saat itu ia tidak punya alasan untuk membela diri atas kesalahannya itu. Sesungguhnya, orang yang meninggal dunia sementara pada waktu itu ia tidak menaati pemimpin yang baik, ia akan mati dalam keadaan jahiliah, yaitu sesat.”

Kepengikutan itu juga tidak membedakan warna kulit seorang pemimpin. Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dengarlah dengan patuh dan taat, sekalipun pemimpin itu adalah hamba keturunan kulit hitam dan di kepalanya itu seakan-akan ada bintik hitam kecil-kecil.” Hadits ini tentu mengisyaratkan juga bahwa terhadap seorang pemimpin yang legitimate, kepengikutan itu mutlak.

Dalam hikayat Nabi Musa a.s. dengan pengikutnya bani Israil yang konflik dengan Fir’aun, terdapat pembelajaran tentang kepengikutan. Ketika lari dari kejaran Fir’aun dan lebih dari sejuta bala tentaranya, Nabi Musa dan sekitar 300 ribu bani Israil sampai ke pinggir Laut Merah sehingga banyak pengikutnya yang menjadi cemas dan mulai salah menyalahkan, termasuk pada Nabi Musa yang dianggap menyebabkan mereka akan dibantai pasukan Fir’aun. Nabi Musa yang berbuat berdasarkan tuntunan Allah tetap sangat yakin akan adanya jalan keluar dan menenangkan pengikutnya sambil menunggu petunjuk Allah.

Sementara pada saat kritis itu para pengikutnya mulai menghujat, dengan petunjuk Allah Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut yang menyebabkan air laut itu menyibak membentuk sebuah koridor jalan di dasar laut sehingga mereka bisa menyeberang. Bukannya bersyukur, sampai di seberang para pengikut Musa masih menghujat lagi karena kawatir tentara Fir’aun yang sedang ikut menyeberang di koridor itu akan menangkap mereka. Karena tidak istiqomah kepada pemimpin, mereka memaksa Musa untuk memukulkan lagi tongkatnya supaya laut bertaut kembali.

Musa tidak memukulkan tongkatnya karena kawatir ummatnya akan mempertuhankan tongkat itu, tetapi menyeru pertolongan kepada Allah yang menautkan kembali laut itu sehingga akhirnya Fir’aun dan bala tentaranya tenggelam. Moral dari hikayat ini, kepengikutan antara lain menuntut kesetiaan berdasarkan tauhid (devine based loyality), rasa istiqomah bersama pemimpin meskipun berkonsekuensi nyawa, dan etika atau kesantunan pada pemimpin.

Akan tetapi kepengikutan itu juga dikawal oleh suatu prinsip-prinsip yang digambarkan oleh hadits berikut. Nasa’I meriwayatkan: ”….. pada suatu saat seorang lelaki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Jihad seperti apakah yang lebih utama?’ Nabi Muhammad menjawab, ‘Mengucapkan kalimat benar di hadapan pemimpin yang zalim.’”

Mengutip kesaksian Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dalam sebuah hadits (riwayat Abu Daud, Tirmizi, dan Nasa’i): “….. saya juga pernah mendengar Nabi Muhammad bersabda, ‘Percayalah, apabila manusia melihat kezaliman, tetapi mereka tidak bangun menentang kezaliman itu, Allah menurunkan siksa-Nya kepada semua manusia.’”

Demikian pentingnya kepengikutan ini sehingga mendapat tempat yang khusus dari Al-Quran dan hadits. Berdasarkan buku Imam Nawawi itu, dapat kita ringkaskan dan sarikan konsep kepengikutan terhadap para pemimpin yang legitimate sebagaimana disyariatkan, antara lain sebagai berikut:

1. Wajib taat pada pemimpin berdasarkan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW (devine based loyality).

2. Wajib mematuhi arahan pemimpin atas suatu perkara dan berusaha melaksanakannya dengan baik, terlepas dari perkara itu disuka atau tidak, dalam keadaan susah atau senang, rela atau terpaksa, bahkan meskipun akan merugikan kepentingan sendiri, dan dengan tetap bersikap santun (istiqomah).

3. Orang yang memecah-belah persatuan ummat akan mati dalam keadaan mati jahiliah, yaitu sesat.

4. Tidak wajib mengikuti pimpinan yang memerintahkan untuk berbuat kemusyrikan dan maksiat.

5. Kepengikutan tidak mengenal perbedaan ras, warna kulit, asal lapisan sosial sang pemimpin.

6. Memegang janji setia yang dilakukan dengan sepenuh hati kepada pemimpin dan membelanya jika ada yang mencoba merampas kekuasaan pemimpin itu.

7. Tetap mendengarkan dan taat terhadap pemimpin meskipun ia tidak memberikan hak-hak pengikut yang menjadi tanggungjawabnya; para pengikut bertanggungjawab pula terhadap apa yang diamanahkan dan minta lah hak-hak itu kepada Allah.

8. Bersabar terhadap tindakan yang dibenci dari pemimpin, apalagi dia masih sholat bersama-sama ummat; jika seseorang membantahnya walaupun sedikit maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.

9. Dilarang merendah-rendahkan pemimpin (negara) karena Allah akan merendahkan diri pelakunya itu.

10. Berani menyampaikan kebenaran sekalipun di hadapan pemimpin yang zalim dan bangun untuk menentangnya jika melihat suatu kezaliman (sebagai civic responsibility) karena jika tidak maka Allah akan menurunkan siksaNya kepada semua manusia.

Nah, konsep dan norma sudah tersedia. Sekarang bagaimana kita menyikapinya? Semoga kepengikutan ini dapat kita cermati untuk menghindarkan sanksi Ilahiah dan membawa kemaslahatan bagi negeri kita dan orang banyak. Insya Allah.

30 Oktober 2009

Bingkisan untuk Presiden SBY, Wakil Presiden, dan Para Pemimpin

Presiden SBY dan Wakil Presiden SBY sudah dilantik tanggal 20 Oktober lalu. Pelantikan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II pilihan SBY telah pula berlangsung dua hari sesudah itu. Sebagai warga Negara, selain wajib mendukung pemerintah yang legitimate ini, kita tentu juga mengucapkan rasa syukur dan tahniah atas kepercayaan yang diamanahkan rakyat yang dapat kita curahkan dalam berbagai bentuk dan cara.


Saya juga berkeinginan untuk mengekspresikan rasa itu secara ikhlas dengan cara saya sendiri. Mengirimkan karangan bunga kepada beliau-beliau semua tentu tidak praktis dan mungkin kurang besar manfaatnya, bukan dalam arti pamrih agar mereka mencatat nama saya, karena tidak akan memberikan implikasi yang signifikan bagi orang ramai. Memasang iklan di media, selain akan makan biaya yang sangat mahal untuk manfaat yang juga kurang mengena pada kepentingan umum, bisa pula mendorong ke pamrih atau riya.


Sebagai gantinya saya akan “membingkiskan” dua buah buku kecil tentang kepemimpinan untuk pak SBY dan Budiono beserta para menteri dengan harapan mudah-mudahan isinya relevan dan bermanfaat bagi mereka sebagai para pemimpin yang telah dipercaya rakyat. Mereka adalah orang-orang yang punya reputasi dan teruji sudah dalam kancah politik, pemerintahan, profesi, ataupun kemasyarakatan kita namun demi makin mantapnya upaya mereka menjalankan tugas menyejahterakan bangsa kita, tidak ada salahnya kalau kado ini saya kirimkan sebagai bahan bacaan. Saya sebut buku kecil karena secara fisik kedua buku yang saya jumpai dengan tidak sengaja di toko buku ini memang kecil namun ternyata memuat sesuatu yang besar tentang kepemimpinan.


Kejadiannya bermula ketika saya penasaran dengan isu kepemimpinan (leadership) yang ketika itu menghangat dengan pelantikan presiden dan wakil presiden, munas partai, dan proses pemilihan para calon menteri. Rasa penasaran tentang leadership itu berkaitan dengan paradigma kepemimpinan, persepsi tentang jabatan, proses pemilihan, dan pelaksanaan dari yang diamanahkan. Berbagai pendapat dan komentar bersilang siur di berbagai media dari bermacam ragam orang sehingga tidak nampak lagi main stream dari kepemimpinan yang baik dan benar serta acuan yang dipakai. Karena itu, ketika saya melihat kedua buku ini waktu saya melintas di rak buku-buku agama di toko buku itu, langsung saya ambil.


Buku pertama merupakan kompilasi tentang nash Quran dan Hadits yang dilakukan oleh Imam Nawawi berdasarkan koleksi terpilih dari Kitab Riyadus Solihin. Berbagai ayat Quran dan Hadits Nabi (yang diriwayatkan oleh para perawi terpercaya) yang berkaitan dengan kepemimpinan menurut tuntunan syariah didedahkan sehingga dapat kita pakai dengan mudah. Banyak hal yang kita jumpai hari ini sudah diidentifikasi sejak zaman Nabi dulu dan diperlihatkan juga berbagai aspek yang relevan dengan kita hari ini.

Buku kedua berjudul PROPHETIC LEADERSHIP Kepemimpinan Para Nabi ditulis oleh Achyar Zein, seorang dosen IAIN Sumetera Utara yang sedang mengikuti pendidikan S3 di IAIN Ar-Raniry (mudah-mudahan beliau sekarang sudah selesai). Buku yang diterbitkan tahun 2008 ini memuat sejarah dan aspek kepemimpinan yang berkaitan dengan 25 orang nabi. Hikayat itu dikutip dari Quran melalui berbagai tafsir dan beberapa buku agama karangan para ulama Timur Tengah. Yang menarik, penulis dapat memberikan pencerahan dan pemahaman yang baik dan menarik serta mampu pula membuat berbagai interprestasi dan kajian implementatif yang sesuai dengan keadaan lokal kita di Indonesia.


Dengan modal dua buku sederhana ini, akan saya coba buat sintesis tentang bagaimana konsep kepemimpinan yang sudah ditunjukkan para Nabi dan praktek-praktek dalam kehidupan pada masa madaniah Rasulullah dahulu. Meskipun saya bukan seorang ahli manajemen yang berkaitan dengan kepemimpinan , norma-norma yang dapat kita petik Insya Allah akan tetap bermanfaat dan relevan dengan kepentingan kita zaman sekarang. Mudah-mudahan saya bisa mengangsurnya dalam bentuk serial tulisan yang akan saya muat di blog saya riau2020.wordpress.com dan riau2020.blogspot.com serta akan saya kutipkan untuk Notes jejaring Facebook saya. Ini lah yang saya maksud sebagai kado sederhana yang mampu saya berikan untuk keberhasilan dan kelancaran pelaksanaan tugas Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, dan para pejabat tinggi Negara dalam Kabinet Indonseia Bersatu II. Semoga.

25 Oktober 2009

Pengalaman Kecelakaan Mobil (3)

Pengalaman kecelakaan mobil yang saya tumpangi mencederai orang lain pernah pula saya alami, kalau tidak salah bulan Ramadhan tahun 1994. Ketika itu saya dan seorang rekan kantor sedang melaksanakan tugas ke Tembilahan (Inderagiri Hilir) dan Rengat (Inderagiri Hulu) dengan menggunakan sebuah mobil dinas. Ketika itu belum zaman handphone seperti saat ini dan kondisi jalan belum sebagus sekarang dan penyeberangan Sungai Inderagiri di Teluk Kiambang masih menggunakan ferry.

Mengingat penyeberangan itu sering menjadi bottle neck maka kami mengatur strategi agar pelaksanaan tugas kami berjalan lancar dan bisa segera pulang bersama-sama ke Pekanbaru. Setelah “duduk” urusan di Tembilahan, pagi-pagi saya berangkat menuju Rengat agar mobil tidak terjebak di penyeberangan dan saya bisa berurusan pula di Rengat. Rekan saya akan menunggu penyelesaiannya di Tembilahan dan kemudian akan menyusul ke penyeberangan dengan kendaraan umum . Setelah mengantar saya ke Rengat, mobil nanti akan akan kembali ke penyeberangan dan menunggunya di sisi arah ke Rengat. Yang pernah mengalami perjalanan ke Inderagiri Hilir pada zaman masih ada rakit atau ferry penyeberangan rasanya bisa membayangkan suasananya.

Kembali ke cerita perjalanan, setelah menyeberang dan dalam perjalanan menuju Rengat, sekitar pukul 10 pagi, kami berpapasan dengan seorang teman baik saya (seorang pengusaha) yang sedang mengendarai sebuah mobil sedan bagus ke arah Tembilahan. Teman itu menghentikan saya dan mengajak berbual karena memang sudah lama tidak jumpa. Saat itu dia sedang dimintakan tolong untuk membawakan sedan mewah milik seseorang yang pindah dari Pekanbaru ke Tembilahan. Karena senang nyetir dan mobil itu comfortable maka dari Pekanbaru dia menyupiri mobil itu sendiri.

Kemudian dia menawarkan untuk mengantarkan saya sampai ke Rengat, dengan alasan masih ingin ngobrol. Saya merasakan, sebenarnya dia ingin mengantarkan saya dengan mobil bagus itu karena merasa selama ini saya banyak memotivasi dan membantunya. Selain itu jalan sepanjang sekitar 40 kilometer lagi ke arah Rengat dalam keadaan tidak mulus.

Berkali-kali dan dengan serius saya menolak tawarannya karena tidak praktis dan tidak efisien. Alasan saya bahwa Rengat sudah dekat dan kita harus bergerak lebih efisien dalam bulan puasa yang ketika itu panas dan kering diabaikannya. Dia tetap memaksa untuk mengantarkan saya ke Rengat.
“Nanti capek dan tak terkejar buka di Tembilahan, “ kata saya. “Puasa kan? “ tanya saya lagi.
“Iya pak,” jawabnya singkat dan mempersilakan saya naik ke mobil itu.

Akhirnya dengan rasa sesuatu yang masih mengganjal, entah apa, saya penuhi juga keinginannya. Kami berdua berangkat ke arah Rengat dan mobil dinas saya minta kembali ke penyeberangan menunggu rekan saya. Sepanjang jalan kami banyak bernostalgia dan saling cerita pekerjaan masing-masing dalam suasana santai, meskipun hati saya berkata-kata bahwa dia nanti akan cape dan mungkin jadi tidak bisa berbuka puasa di rumahnya. Sampai terjadi lah kejadian yang naas itu.

Kecepatan mobil ketika itu rasanya tidak tinggi karena saya dapat memperhatikan keadaan kiri kanan jalan dengan baik. Kecelakaan itu berlaku di suatu segmen jalan yang lurus sesudah sebuah tikungan di daerah yang tidak ramai, baik penduduk maupun lalu lintasnya. Mula-mula saya melihat seseorang keluar dari halaman rumahnya yang lebih rendah, naik ke bahu jalan. Saya yakin teman itu juga melihatnya, seorang ibu yang mengenakan kain dan memakai kain tutup kepala (biasa disebut tengkuluk) berjalan searah dengan kami, karena dia segera menggeser posisi lintasan mobil lebih ke tengah untuk menjauhi orang itu.

Akan tetapi yang namanya naas, ketika mobil kami sudah hampir sejajar dengannya, ibu itu tanpa menoleh ke belakang tiba-tiba berjalan serong ke tengah jalan. Teman saya yang tidak menyangka kejadian itu membanting stir ke kanan namun tidak sempat lagi menginjak rem. Ibu itu tertabrak sisi samping kiri mobil seakan-akan saya bertumburan dengannya waktu ia jatuh terpental. Mobil kami segera berhenti sekitar 40 meter dari tempat kejadian dan dua orang kampung datang berlari ke tempat kejadian. Semula mereka “agak tinggi” tapi menjadi wajar kembali ketika mereka melihat kami juga berlari ke arah korban sambil beristighfar. Akhirnya disepakati untuk segera menaikkan sang korban yang tidak sadarkan diri dan sedikit luka ke mobil dan bersama kedua orang itu kami segera ke rumah sakit di Pematang Rebah, Rengat.

Singkat cerita, setelah melalui proses yang panjang di UGD alhamdulillah ibu itu tertolong dan kami berbuka hanya dengan sepotong roti dan air putih. Setelah maghrib, mobil dan rekan kerja saya muncul ke rumah sakit. Dia dapat kabar dari mulut ke mulut tentang kejadian itu dan langsung mengambil langkah yang perlu sehingga tugas di Rengat juga telah selesai. Beberapa keluarga korban juga sudah sampai di rumah sakit dan kami berunding dengan penuh rasa kekeluargaan dan saling pengertian, sebagaimana lumrahnya budi-bahasa masyarakat desa kita yang sebenarnya. Setelah semuanya jelas dan sepakat, dengan berat hati saya pamit untuk meneruskan perjalanan ke Pekanbaru dan teman tadi berangkat ke Tembilahan.

Beberapa bulan kemudian saya bertemu lagi dengan teman itu dan dia bercerita beberapa hal yang berkaitan dengan kecelakaan itu. Pertama, ibu itu sudah pulih meskipun harus mendapat perawatan jalan beberapa bulan. Terungkap kemudian bahwa ketika kecelakaan itu sang ibu akan pergi mandi ke sungai karena kepanasan. Dia tidak begitu mendengar suara mobil kami dan memang terbiasa dengan cara menyeberang yang demikian karena daerah itu sepi. Kedua, ketika kecelakaan itu terjadi sebenarnya teman saya itu tidak berpuasa tanpa alasan yang kuat, kecuali karena ingin merokok dan tidak ada orang lain bersamanya di perjalanan. Ketiga, kebohongannya kepada saya tentang puasa itu telah menjadi beban mental baginya. Dia sudah berniat untuk “ngaku dosa” kepada saya pada kesempatan pertama bertemu.

Semua itu membuat dia dapat menerima dengan ikhlas kejadian kecelakaan itu sebagai tegoran dari Allah kepadanya. Sejak saat itu dia menjadi sadar akan kekurangan dan kelalaiannya sebagai manusia, kepada manusia, dan kepada Tuhan. Yang sangat disayangkan adalah hikmah positif itu memerlukan pengorbanan si ibu dalam kecelakaan itu. Tapi itu lah rahasia Allah Swt.

19 Oktober 2009

Pengalaman Kecelakaan Mobil (2)

Pengalaman kecelakaan mobil yang ke dua kalinya saya alami tanggal 9 September 1987 sekitar jam 10 pagi di jalan minyak di daerah Simpang Benar, Rokan Hilir, Riau. Sebagai tenaga teknis, saya ditugaskan untuk membantu penyiapan program pembangunan dan pemeliharaan jalan ke daerah-daerah. Untuk itu saya dan beberapa orang akan pergi melihat kondisi daerah dan jalan di Teluk Nilap yang ketika itu masih masuk Kabupaten Bengkalis.

Daerah Teluk Nilap merupakan daerah terisolir yang dihubungkan oleh jalan yang kondisinya belum memadai sama sekali. Sebagian jalan menuju ke sana merupakan jalan operasi ladang minyak yang juga dimanfaatkan masyarakat; di pinggirnya ada pipa minyak yang diameternya bisa mencapai 1,0 meter. Jalan yang biasanya disebut jalan minyak ini dibangun PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) dari tanah kemudian disiram dengan crude oil (minyak bumi mentah) dan dipadatkan sehingga sangat licin ketika hujan atau basah.


Mengingat itu bulan puasa maka dari Dumai kami memakai kendaraan Toyota Hardtop 4 Wheel Drive yang diharapkan dapat membawa kami menembus medan yang berat itu (seperti foto di atas, dari internet). Saya duduk di depan bertiga dengan supir; di belakang ada dua rekan lain dan beberapa tas pakaian dan satu set alat ukur geodesi. Ketika supirnya kami tanyakan apakah sudah biasa menempuh jalan minyak, dijawabnya “ya” dengan meyakinkan. Akan tetapi di jalan minyak yang ketika itu basah terasa dia mengemudi kurang meyakinkan sehingga kami tanya ulang. Dia tetap menjawab bahwa dia sudah biasa dan menolak tawaran kami untuk menggantikannya utnuk menyetir.

Hati saya mulai tidak tenang karena mobil sudah “ngageol” beberapa kali. Di persimpangan jalan ke sumur-sumur minyak pun dia sering mengerem dan menekan gas kembali secara agak mendadak sehingga sering mobil itu oleng karena slip. Kawan yang duduk di sebelah saya mulai gelisah dan dia minta izin untuk buka puasa dengan merokok dengan alasan tidak tahan jika tidak merokok. Dengan berat hati saya hanya bilang bahwa puasa saya tidak terganggu oleh asap rokok.

Belum lagi lima menit kawan itu merokok dan baru dapat beberapa kali isap, sang supir mengulangi kesalahan yang sama di sebuah simpang jalan ke sumur minyak. Ketika dia menekan gas lagi secara mendadak, dengan kecepatan sekitar 50 km/jam mobil slip ke arah kiri dan ban kiri depan menabrak pipa minyak yang cukup besar sehingga mobil rolling ke sisi kanan dua kali dan kembali berdiri dalam keadaan terhenti beberapa puluh meter dari tempat slip semula. Bagian atas mobil cukup remuk dan beberapa kaca pecah.

Yang luar biasa, ketika mulai oleng saya bereaksi dengan cepat untuk berpegangan ke dashboard sehingga tidak terbentur secara fatal. Pada rolling yang pertama, lembaran langit-langit mobil itu lepas dan terletak di jalan dalam keadaan menghadap ke atas. Alhamdulillah, dengan kehendakNya saya terduduk di dalamnya bersama tas pakaian saya tanpa cedera apapun kecuali ada sedikit memar di dagu yang saya tidak tahu kejadiannya.

Bagaimana dengan kawan-kawan perjalanan saya? Dua kawan yang di belakang merasakan bagaikan diguncang dalam suatu kotak bersama beberapa tas pakaian dan alat ukur itu. Namun Alhamdulillah tidak mengalami cedera apa pun kecuali memar-memar kecil. Rekan yang duduk di sebelah saya mengalami memar-memar karena benturan ketika mobil itu rolling dan di belakang daun telinga kirinya luka cukup besar sehingga mengucurkan darah ke bajunya. Sang supir juga memar-memar dan dadanya terasa sangat sakit karena terbentur ke stir.

Dengan keadaan yang paling fit, saya berusaha membantu kawan-kawan saya dan mencari bantuan. Kejadian itu di daerah hutan dan sepi; ketika itu belum ada handphone sehingga dalam waktu lama baru kami akhirnya sampai ke camp PT CPI di Bangko untuk mendapat perawatan dan istirahat. Dengan kondisi yang masih normal, saya tetap puasa.

Berita kecelakaan itu rupanya sudah dulu sampai ke pihak-pihak berkenaan dan keluarga sehingga keluarga masing-masing merasa kawatir. Melalui telepon di camp kami bisa member kabar bahwa kami dalam keadaan selamat dan mendapat rawatan di Camp Bangko. Hikmah lainnya adalah kami juga jadi tahu bahwa bos saya meninggal dunia kemarennya dan akan dikebumikan hari itu. Sayang sekali kami tidak dapat mengejar acara pemakaman beliau.

Atas kecelakaan ini, belakangan saya dapat mengetahui bahwa sang supir rupanya baru pertama kali ke daerah tersebut dan belum biasa menempuh jalan minyak. Jadi dia yang memang tidak beribadah puasa dengan ringan saja berbohong pada kami maupun pada bosnya yang menugaskan. Dua kawan yang duduk di belakang juga mendapat hikmah dari puasa mereka; meskipun bagaikan diguncang dalam kaleng, Alhamdulillah hanya memar-memar kecil saja. Jadi hanya rekan yang di sebelah saya yang sudah terlanjur membatalkan puasanya demi rokok itu dan sang supir saja yang relatif menderita pada kecelakaan itu.

Juga ada kelemahan kami; ban mobil itu ternyata dengan corak atau kembang yang tidak sesuai untuk jalan minyak dalam keadaan basah. Sebagai pengguna mestinya kami tidak boleh percaya begitu saja pada sang supir tapi harus lebih teliti melakukan cross check terhadap kemampuan dan pengalaman si supir. Demikian pula keadaan mobil seperti rem, ban, bahan bakar, kemampuan mesinnya, lampu dan lain-lain.

Kesalahan kolektif itu lah yang telah menimbulkan akibat yang diterima pula secara bersama. Namun, alhamdulillah tidak ada korban fatal dalam kecelakaan yang cukup meremukkan mobil hardtop itu. Naudzubillah, semoga jangan terjadi lagi kelalaian yang mengakibatkan kecelakaan seperti ini pada siapa pun.

17 Oktober 2009

Pengalaman Kecelakaan Mobil (1)

Pengalaman kecelakaan mobil pernah saya alami tiga kali; pertama ketika mengemudikan dan yang dua kalinya ketika menjadi penumpang. Alhamdulillah, dengan kuasa Allah saya terhindar dari cedera yang berarti dalam kedua kejadian itu.

Ketika masih bekerja di sebuah kontraktor di Jakarta tahun 1984, saya bersama beberapa young engineers difasilitasi kendaraan operasional “kijang kotak” station yang multifungsi, sebagai “mobil dinas”, angkutan staf/pekerja, ataupun beli material yang kecil-kecil. Karena jumlah supir terbatas, saya yang sering jadi pengemudi ketika pergi bersama rekan-rekan kerja lainnya. Maklum, saya baru masuk di kantor itu.

Sebagai fresh graduate dan sesuai dengan usia, masih banyak kebanggan diri; mengemudikan kendaraan juga masih senang menginjak pedal gas dari pada rem. Di jalan tol Jagorawi, kijang kotak itu bisa lari sampai 120 km/jam, apalagi kalau para staf yang menumpang di belakang makin memberi semangat. Biasanya, rekan saya yang duduk disebelah yang mulai bergumam namun tidak jelas karena desis angin dan suara kendaraan lain dari jalur berlawanan yang masuk dari jendela yang terbuka sebagian. Pokoknya lebih seru dari mikrolet…!

Suatu kali sekitar jam 15.00, kami lewat di sebuah jalan kecil di daerah belakang Taman Mini dalam keadaan hujan kecil. Jalan dua arah itu sempit dengan bahu jalan yang rendah karena tergerus air dan aspal dalam keadaan basah. Sebagai jalan tembus, jalan itu ramai, termasuk sepeda motor dan juga menjadi rute Metro Mini.

Pada suatu segmen yang lurus, kami berpapasan dengan sebuah Metro Mini yang seperti biasa sedang “kejar setoran”. Sebenarnya pada bagian yang lurus jalan itu sangat pas untuk berpapasan jika masing-masing kendaraan berada pada posisi yang tepat. Akan tetapi si mikrobis oranye tidak peduli yang membuat saya harus mengalah lebih ke pinggir sehingga ban mobil kami jatuh ke bahu yang rendah itu. Karena juga dalam kecepatan sekitar 60 km/jam, tepat sesaat habis berpapasan, “mikrolet” kami melintir ke arah belakang kembali dan menabrak pohon di seberang jalan. Anehnya mobil tidak terguling; hanya remuk pas di tengah-tengah bagian depan yang merusakkan radiatornya. It costed me about a month of my wage. Alhamdulillah, kami tidak cedera sedikit pun dan biaya itu akhirnya ditanggung oleh perusahaan karena kami memang sedang pergi tugas. Bagaimana pun, timbul juga rasa sesal; karena menegakkan ego, keselamatan dipertaruhkan. Sejak saat itu, saya lebih memilih mengalah ketika mengemudi karena nampaknya jalan-jalan kita (makin) banyak dipenuhi oleh orang-orang nekad.

Moral cerita: Kebanggan diri (ego) ketika muda dan penuh keberhasilan kadang bisa membuat kita lupa pada keberadaan dan kepentingan pihak atau orang lain, bahkan pada keselamatan diri dan orang banyak. Sayangnya kesadaran itu sering datang terlambat, ketika kecelakaan itu sudah terlanjur menimbulkan kerugian jiwa, tubuh, atau harta benda. Bagi kita yang masih dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, ketika mengemudi, mari lebih mengutamakan keselamatan dari pada ego, apalagi jika sedang bersama orang-orang yang kita sayangi. Tapi bagaimanakah memberikan pengertian ini pada mereka yang masih “menggelegak” tanpa harus ada korban lagi?

09 Oktober 2009

Pengalaman Terhindar dari Bencana (1)

Tidak ada seorang pun dari kita yang ingin mengalami bencana. Disebut bencana karena selain memberi beban psikis, secara lahiriah senantiasa membawa kesulitan atau kesusahan, sejak dari kerugian harta benda sampai ke kehilangan jiwa. Karena itu jika kita lolos dari suatu bencana merupakan suatu pengalaman yang luar biasa berharga yang perlu dan Insya Allah bermanfaat untuk diceritakan kembali.

Sampai hari ini, saya sudah pernah mengalami beberapa kali selamat dari bencana. Semua pengalaman itu selain menuntut kerugian materil sebenarnya juga mengancam jiwa dan raga. Alhamdulillah, berkat Rahman dan RahimNya, saya selamat dari dari kejadian-kejadian itu.

Pengalaman pertama saya terkait ke suatu bencana adalah ketika terhindar dari penerbangan maut Garuda GIA 152 Jakarta-Medan tanggal 26 September 1997. Saat itu sedang puncak-puncaknya gangguan kabut di Indonesia bagian Barat sehingga aktivitas penerbangan banyak yang terganggu, termasuk bandar udara Sultan Syarif Kasim II (SSK II) Pekanbaru tidak bisa melayani penerbangan.

Ketika itu saya dan beberapa kolega mengikuti Konferensi Regional Teknik Jalan (KRTJ) ke 5 di Yogyakarta tanggal 22-24 September 1997. Setelah sampai di Yogyakarta, karena bandara SSK II sudah tidak bisa didarati akibat kabut asap yang sangat tebal maka kami dengan segera merubah tiket pulang dari Jakarta ke Pekanbaru menjadi ke Medan yang masih bisa melayani penerbangan dengan maksud berikutnya akan menggunakan jalur darat ke Pekanbaru. Semula semua berencana untuk berhenti dan menginap dulu sehari di Jakarta sambil menunggu kemungkinan terbukanya kembali penerbangan ke Pekanbaru atau jika tetap tidak memungkinkan baru pulang melalui Medan pada tanggal 26 September.

Akan tetapi ketika memesan tiket di biro perjalanan yang ada di hotel, dengan kuasa Allah Swt, semua kami sepakat untuk langsung saja dari Yogyakarta ke Medan tanggal 25 September. Karena itu kami membatalkan penerbangan Jakarta ke Medan dengan flight GIA 152 tanggal 26 September yang sudah kami pesan beberapa saat sebelumnya dan menggantinya dengan connecting flight dari Yogyakarta tanggal 25 September.

Sesampainya di Medan kami menyempatkan olahraga di padang golf Tuntungan, daerah perbukitan ke arah Sibolangit, sebelum kembali ke Pekanbaru. Waktu di Tuntungan, di salah satu hole menjelang selesai, secara pribadi saya memang mendengar suara aneh; seperti mesin yang meraung dan tiba-tiba mati. Ketika saya konfirmasi kepada teman-teman lain, tidak ada yang mendengar dengan jelas sehingga kami semua lupa dengan suara aneh itu sampai berangkat menuju Medan kembali.

Keheranan itu kembali muncul ketika kami melintas dekat ujung landasan Polonia, Medan. Bandara kelihatan ekstra sibuk kemuadia dapat kabar bandara ditutup karena ada pesawat yang jatuh. Ketika di perjalanan dari Medan ke Pekanbaru, di sekitar Tebing Tinggi akhirnya kami mendapat kabar tentang jatuhnya pesawat Airbus A300-B4 Garuda Flight GIA 152 itu yang rencana semula akan kami tumpangi itu di Desa Buah Nabar, Sibolangit, Deli Serdang yang jaraknya sekitar 32 km dari bandara Polonia. Kecelakaan yang memakan 234 orang korban ini diduga akibat pendeknya jarak pandang karena gangguan asap sehingga pesawat menabrak tebing di pegunungan.

Dengan rasa campur aduk antara bersyukur telah terhindar dari bencana maut dan dukacita yang mendalam, di perjalanan kami berkomunikasi dengan keluarga masing-masing yang cemas serta terus memantau dan nama-nama korban yang kami kenal karena memang jalur penerbangan melalui Medan adalah cara yang paling laik untuk ke Pekanbaru. Selain itu, diantara para korban, banyak kolega-kolega kami termasuk para peserta KRTJ ke 5 dari Aceh dan Sumut sebagaimana terlihat dari berserakannya tas gift peserta KRTJ itu dalam liputan-liputan berita TV. Beberapa diantaranya kami kenal secara langsung!!! Naudzubillahi.

Memang, jika belum waktunya ajal kita atau sakit, dan cedera, ada saja sebab yang menghindarkan kita. Kadang-kadang hal itu sangat tidak rasional dan tidak logis sehingga kita sering jadi tidak sabar atau bahkan menggerutu menerima suatu keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita semula. Ketika itu, yang saya ketahui kemudian, ada beberapa orang kolega yang kecewa tidak jadi berangkat dengan pesawat naas itu karena telat, tidak dapat tiket, dan bahkan kena kensel. Sebaliknya, sepasang suami-isteri kolega kerja yang menetap di Jakarta, ikut jadi korban setelah melalui pemilihan mereka memenangkan dua tiket yang disediakan sebuah keluarga yang akan menyelenggarakan hajat di Medan, mewakili teman-temanya se kantor. Setelah kejadian kita baru melihat mana baik dan mana buruk yang mungkin juga berbeda pada orong per orang. Yang selamat belum tentu baik sedangkan yang menjadi korban belum tentu pula tidak baik. Wallahu alam, hanya Allah lah yang tahu.

Karena itu lah kita harus tetap berbaik sangka (husnuzhon) pada Allah karena kita tidak tahu apa yang ada di balik suatu hal atau keadaan yang sekalipun kita rasakan pahit. Bencana harus kita baca sebagai peringatan atas kekurangan kita dan agar segera memperbaiki diri.

Hikmahnya dalam kehidupan, pertama, sekarang tiap kali naik pesawat saya pasrah saja sambil berdoa kepada Allah mengharapkan perlindungan dan keselamatan. Kedua, ketika boarding saya selalu mengirim sms kepada keluarga, misalnya: “Boarding now on Garuda GA 171 leaving for Jakarta.” Semoga Allah menghindarkan kita semua dari segala bencana.
Masjid Jami’ Air Tiris merupakan salah satu objek wisata Provinsi Riau yang jangan sampai terlewatkan. Masjid antik ini terletak di Pasar Usang, Desa Tanjung Berulak, Air Tiris, Kabupaten Kampar, sekitar 52 km dari Pekanbaru. Meskipun terletak agak ke dalam dari jalan Pekanbaru-Bangkinang namun masjid yang mempunyai keunikan tersendiri bisa dicapai langsung dengan kendaraan darat melalui jalan aspal yang mulus.

Masjid ini didirikan tahun 1901 atas prakarsa Engku Mudo Sangkal, seorang ulama yang mengonsolidasikan potensi ninik-mamak dan cerdik-pandai dari 20 kampung di kenegerian Air Tiris. Sebagai panitia pembangunannya adalah yang disebut dengan “Ninik Mamak Nan Dua Belas” yaitu para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh kampung. Mereka mengerjakannya bersama anak kemenakan, termasuk tukang dari Trengganu, Malaysia, yang membuat mimbar yang dikerjakannya di Singapura. Tahun 1904 masjid ini selesai yang diresmikan dengan meriah oleh seluruh masyarakat Air Tiris dengan menyembelih 10 ekor kerbau.

Bentuk masjid ini konon merupakan campuran arsitektur “Rumah Lentik” Melayu Kampar dan Cina. Masjid dengan bahan konstruksi utama kayu ini terdiri dari bangunan induk yang ukuran aslinya 30X40 m, mihrab 7X5 m, menara, dengan tinggi bangunan 24 m, serta dilengkapi dengan 2 mimbar, 1 buah telaga, dan 3 buah kulah air. Atapnya berupa limas tiga tingkat yang meruncing ke atas dengan tiang dan konstruksi kayu yang masih asli terlihat sangat indah. Demikian pula dindingnya yang miring, penuh dengan ornamen atau ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dalam sebuah masjid di Pahang, Malaysia. Engku Mudo Sangkal juga menukilkan ukiran di depan mimbar dan pada dua tonggak panjang dalam masjid masing-masing basmallah dan dua kalimah syahadat.

Keunikan lainnya, pemasangan komponen bangunannya tidak menggunakan paku dari besi tapi dengan teknik lidah dan pasak yang juga dari kayu. Pada keadaan aslinya dulu, atapnya pun berupa kepingan-kepingan papan kayu tetangu yang tahan berhujan panas dengan panjang 1 meter. Pada tahun 1971 dilakukan rehabilitasi bagian-bagian masjid yang sudah lapuk sehingga hari ini masih berdiri dengan megahnya dan banyak dikunjungi penziarah.

Sangat disayangkan, ada hal yang kurang pas pada properti masjid ini. Di dalam salah satu kulah air itu terdapat sebuah batu alam yang besar dan bentuknya seperti kepala kerbau tanpa tanduk dan telinga. Konon batu itu bisa berpindah posisi dalam kulah itu dengan sendirinya sehingga dikeramatkan yang mempercayainya. Para penziarah yang banyak datang pada hari raya puasa enam, bukannya mengagumi keindahan bangunan kayu hasil karya arsitektur yang sudah berumur 108 tahun itu atau mengambil kesempatan untuk sholat sunnah di dalam masjid itu, malah banyak yang lebih mementingkan untuk menziarahi “kepala kerbau” itu. Mencuci muka atau tangan dengan air dari kulah itu dipercaya dapat memberi berkah. Tidak heran jika pihak Departemen Agama tidak memasukkan “kepala kerbau” ini dalam info tentang masjid ini. Karena itu kita pun tentu harus hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam syirik.

Hal kedua yang masih perlu ditingkatkan adalah pengelolaan Masjid Jami’ sebagai objek wisata yang potensial. Jaraknya yang dekat dengan Pekanbaru dan dapat dikombinasikan dengan wisata kuliner dan Kampung Asli Pulau Belimbing di Kuok tentu sangat potensial sehingga harus dikelola secara lebih baik dan profesional. Dengan infrastruktur jalan yang sudah memadai, seyogyanya objek itu dilengkapi dengan publikasi yang lengkap, tanda dan penunjuk arah yang jelas, penataan kawasan sekitar yang sesuai untuk dikunjungi wisman, informasi yang tersedia dan lengkap, pemandu wisatak, dan aspek-aspek penunjang objek wisata lainnya.

Tentunya peningkatan dan pengelolaan ini harus dilakukan secara, konsepsional, komprehensif, dan efektif dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan yang ada. Mudah-mudahan langkah itu akan membuat makin banyak orang berziarah sepanjang tahun sehingga membawa kemaslahatan pada masyarakat setempat khususnya, Provinsi Riau umumnya. Amin.

09 Juli 2009

Pepatah

Dalam masyarakat Melayu sangat lazim penggunanan peribahasa atau pepatah. Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, atau pepatah (Wikipedia). Insterumen pepatah ini digunakan untuk menyampaikan sesuatu kekurangan atau kelemahan secara tidak langsung agar tidak menjadi perselisihan atau tetap dapat menjaga tali silaturrahim.


Bagi sebagaian orang atau generasi sekarang cara ini mungkin dianggap kurang efisien atau bertele-tele namun kalau kita kembalikan ke martabat kemanusiaan, pendekatan social-budaya ini tentu masih sangat relevan. Ia akan dapat menghindarkan gesekan atau menekan eskalasi tensi antara para pihak yang berbeda pandangan tentang suatu hal. Cara-cara yang langsung dan lugas (straight forward) bisa jadi efektif namun akan menjadi bahan bakar pada pihak lain yang merasa dirugikan atau yang terpojok. Selain bahwa pepatah itu suatu instrumen pergaulan dalam peradaban, kunci lain adalah pemahaman awal (biasanya mentradisi) terhadap maksud dari masing-masing pepatah sehingga ketika kita mendengarnya sudah otomatis tahu konteks dan kemana arah percakapan orang yang menyampaikannya.


Ada dua pepatah yang dapat dijadikan contoh pada era pemilihan langsung hari ini. Pertama, “Buruk muka, cermin dibelah”; maksudnya seseorang yang ketika bercermin melihat mukanya yang buruk atau tidak sesuai keinginannya lantas karena marah memecahkan cermin itu. Maknanya adalah orang yang tidak mau mengakui kekurangan diri sendiri tapi lebih cenderung mempermasalahkan dan menyalahkan orang lain. Terlepas dari kekurangan orang lain itu, secara akal-budi dan kemanusiaan yang bermartabat seyogyanya kita lebih melihat kekurangan dan kelemahan diri sendiri agar bisa melakukan koreksi terlebih dahulu. Akan jadi kontroversi jika kelemahan kita lebih besar dari kelemahan orang lain yang kita kritisi.


Pepatah kedua adalah: “Hidung tak mancung, pipi disorong-sorongkan.” Maksud pepatah ini adalah seseorang yang ternyata hidungnya tidak mancung sebagai salah satu lambang kegagahan atau kecantikan tapi mencoba menggantikannya dengan pipi yang fungsinya tentu berbeda. Agak sejalan dengan yang pertama, pepatah ini menggambarkan orang yang memaksakan kehendak agar diterima sebagai menantu, dalam jabatan tertentu, atau pemimpin sementara orang tahu ada kekurangannya sehingga tidak dipilih.


Sebenarnya ada banyak lagi peribahasa atau pepatah yang senada dengan keduanya, seperti: ”Kaki yang pincang, dikatakan lantai berjungkat” dan ” Tak lalu dandang di air, di gurun ditanjakkan juga” (dandang = perahu, pen). Sebaliknya, yang tidak akan kita kaji pada kesempatan ini, juga terdapat beberapa pepatah yang mengajarkan kearifan, kerendahan hati, dan sikap kesatria dan mau mengintrospeksi diri dalam tradisi Melayu.


Tunjuk ajar Melayu ini tentu lahir dari tradisi kehidupan yang sudah teruji dan disepakati.
Karena itu sudah sepatutnya kita simak kearifan yang diusungnya. Mudah-mudahan kita termasuk pada orang yang mau menyimak kaearifan itu.

04 Juli 2009

J o k i

Sebuah koran ibukota terbitan Jumat 3 Juli 2009 memuat berita tentang tertangkapnya 10 orang joki yang diduga mempunyai jaringan nasional. Jika berita ini dibaca ketika zaman pacuan kuda Pulomas Jakarta atau Bukit Ambacang Bukittinggi masih aktif, orang tentu akan bertanya-tanya: terlibat kasus apakah 10 anak pacuan kuda itu?

Joki memang orang yang profesinya menunggang kuda dalam pacuan. Supaya ringan, biasanya dipilih yang masih anak-anak atau tubuhnya relatif kecil tetapi sangat pintar mengendalikan kuda. Bukan supaya baik jalannya seperti dalam lagu Naik Delman itu tapi supaya kencang dan unggul mencapai garis finish dibanding kuda lainnya.

Joki yang dimaksud dalam berita itu bukan anak pacuan atau si penunggang kuda karena sedang tidak ada kegiatan pacu kuda. Penangkapan itu dalam konteks ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Makassar. Joki adalah seseorang yang ikut ujian itu untuk menuntun orang atau calon lain dengan berbagai cara supaya lulus untuk masuk perguruan tinggi favorit pilihannya yang tingkat peluangnya kecil.

Jadi, calon itu dengan sedikit “maksa” ingin diterima di fakultas pilihannya di suatu perguruan tinggi favorit. Karena kemampuan akademiknya sebenarnya tidak memadai atau karena kurang rasa percaya diri, dia cenderung mencari jalan pintas dengan bantuan seseorang dalam ujian itu. Orang yang biasanya pintar dalam mata-ujian mata-ujian itu lah yang disebut joki yang melakukan itu dengan imbalan. Diantara kedua pihak sudah membuat komitmen sejak awal tentang trik bagaimana mendapatkan tempat yang berdekatan dan cara berinteraksi dalam ruang ujian serta apa imbalannya.

Bukan untuk maksud “mengajarkan” cara kotor ini (“jangan ditiru,” pesan acara-acara demonstratif-akrobatis yang berbahaya), dapat kita duga bahwa trik yang dijalankan sangat beragam yang kadang tidak terbayangkan sebelumnya. Sebagaimana yang dilaporkan koran itu, sang joki memberikan jawaban soal kepada kliennya. Jaringan joki di Makasar ternyata terdiri dari 10 orang (1 orang mahasiswa Unhas dan 9 mahasiswa ITB!!!) dengan 6 orang klien yang dikoordinasikan oleh seorang sarjana kedokteran Unhas. Para pengguna jasa joki itu akan membayar Rp 135 juta jika nanti lulus SNMPTN.

Sementara itu dilaporkan pula di Bandung, ada dua peserta SNMPTN yang melakukan kecurangan dengan alat komunikasi canggih berupa microchip mini seukuran kurang dari koin Rp 100. Panitia juga menyita dua telepon seluler, transmitter, dan kabel yang berwarna seperti kulit manusia. Karena itu panitia SNMPTN lokal Bandung menduga masih ada 13 orang pelaku lain yang terkait ke jaringan organisasi nasional.

Mencermati trik-trik yang dipakai, penggunaan joki ini bisa saja dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung-jawab pada berbagai taraf dan jenis pendidikan. Dengan berbagai trik, joki bisa beroperasi pada tes masuk SMU atau masuk jenjang S2 dan S3. Bisa pula terjadi pada tes bahasa seperti TOEFL, seleksi pendidikan penjenjangan karir PNS, atau ujian sertifikasi profesi. Semuanya tentu kembali pada nurani dan moral para joki dan pelakunya.

Terlepas dari masalah moral, seseorang yang “berhasil mengelabui diri sendiri” itu belum tentu akan bisa berhasil dalam proses belajarnya. Sewaktu-waktu bisa muncul dari nuraninya rasa malu atau bersalah telah menempuh jalan serong itu, apalagi jika dia menemui hambatan atau kegagalan secara parsial. Jika pun lolos dari jerat hukum dan berhasil lulus, mungkin dengan nilai yang pas-pasan, rasa bersalah atau tidak percaya diri yang baru akan muncul lagi ketika menghadapi realita kehidupan di lapangan yang sering tidak mudah. Sebenarnya, antara atribut yang didapat dengan cara yang berbau off-side atau semu dan harkat kemanusiaan, manakah yang lebih berharga bagi para pelaku ini?

01 Juli 2009

M a r w a h

Manusia adalah ciptaan terbaik di muka bumi. Secara fisik ia memiliki tubuh yang paling lengkap dan sempurna. Yang lebih istimewa dari manusia adalah karena ia berakal-budi.


Berakal maksudnya manusia itu bisa berfikir, memahami, berinisiatif, menilai, berkarya, dan membedakan. Artinya manusia itu merdeka atau punya kebebasan untuk memilih mana yang baik dan buruk, antara yang putih dan hitam, serta antara yang bermanfaat dan sia-sia. Namun selain mengacu pada akal, gerak langkah manusia dikawal pula oleh rasa yang menurunkan budi. Budi adalah kesepakatan-kesepakatan tentang pilihan manusia akan sesuatu berdasarkan suatu keyakinan, misalnya norma hukum, sosial atau agama.


Pilihan-pilihan manusia sebagai makhluk sosial atau berkelompok, tidak bisa hanya berdasarkan saringan akal atau karena keinginan tapi harus pula mengacu pada budi tadi. Makin jauh dari budi maka makin kurang berharga secara sosial; makin dekat dan mengikuti nilai-nilai budi maka manusia itu akan makin dihargai oleh kelompoknya. Disini lah manusia berbeda dengan makhluk lainnya; manusia memiliki martabat atau marwah.


Karena itu meskipun merdeka, pilihan atau tindakan manusia harus berdasarkan pada suatu keinginan yang etis dan komit pada budi tadi. Dalam bahasa agama disebutkan bahwa nawaitu atau niatnya haruslah ikhlas dalam rangka mengabdi pada dan merelasikan diri dengan Sang Khalik, sesuai dengan misi penciptaan manusia. Selain niat, pilihan itu selain akan bermanfaat buat diri sendiri tentu juga buat orang lain sehingga akan menaikkan martabat si manusia. Yang terbaik secara falsafi adalah bila Suatu tindakan atau kebijakan membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the the greatest number).


Hari ini kita melihat banyak tingkah orang yang berada di luar koridor itu, kalau tidak mau menyebut sebagai orang banyak tingkah. Terlepas dari niat yang memang sulit kita ketahui, banyak orang yang dengan tanpa sungkan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan marwah dirinya sendiri. Pekerjaan atau keberhasilan orang lain bisa diakui sebagai karyanya, pekerjaan ramai-ramai dikatakan sebagai hasil kerjanya sendiri. Ada pula yang mau menghalalkan segala cara demi keberhasilan lahiriah meskipun orang tetap tahu bahwa itu hanya tingkah akrobatis atau artifisial semata.


Dalam konteks hari-hari ini, orang bahkan bukan hanya tak peduli pada marwah dirinya tapi malah meruntuhkan marwah kemanusiaan itu. Marwah manusia yang melekat ke akal-budi tadi, dengan mudah dikikis dengan pamrih atau berbagai kepentingan sesaat yang bermuatan politis, popularitas, atau dagang. Banyak tokoh tanpa sungkan membagi-bagi sembako atau paket bantuan kepada orang-orang tak mampu untuk menarik simpati dan suara pemilih, meskipun sebelumnya tidak pernah peduli pada kesusahan orang lain. Dengan maksud yang sama, ada pula orang yang tanpa beban menghamburkan janji-janji yang tidak rasional dan tidak realistis, padahal meskipun sebelumnya mampu tapi dia tidak berbuat banyak sebagaimana janjinya itu. Tidak kurang pula orang yang tanpa malu-malu mengkritisi kekurangan suatu sistem yang dia sendiri ada dan punya peran dalam sistem itu.

Hal ini terjadi karena kita kurang berpegang kuat pada akal budi yang sudah dikaruniakan pada manusia. Kita terkesima pada gemerincing mata uang, silau dengan gemerlapnya harta benda, dan menyembah kekuasaan.

Tanpa perlu tahu niatnya pun kita bisa melihat banyak orang menghamba pada hal-hal yang temporer dan artifisial sehingga tampak hampa dan tak bermarwah. Mestinya segala gerak langkah kita dimulai dengat niat yang baik dan bersifat hakiki atau substansial yang bersumber dari akal-budi tadi. Akal-budi juga kita gunakan untuk mendapatkan kesuksesan dalam hal apapun secara lebih bermarwah. Di tengah derasnya arus materialistik-hedonistik-sekularistik yang mengglobal hari ini, mampukah kita merefleksikan akal-budi yang menjunjung marwah kemanusiaan itu pada diri kita masing-masing?

03 Mei 2009

T o k o h

Tokoh adalah wujud dari kompetensi dan pengakuan. Seorang tokoh adalah seseorang yang kompeten dan menonjol dalam pencapaian hasil dalam suatu bidang yang diakui oleh orang-orang di dalamnya atau yang mengenal itu dengan baik. Karena itu, seorang tokoh sangat berpengaruh dan akan didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, atau dalam bahasa awam dituakan dalam kelompoknya.

Meskipun belum tentu tua secara umur, sang tokoh akan lebih dihormati dan jadi panutan ketika capaiannya lebih menonjol sehingga makin dikelilingi oleh para pengagum dan pengikutnya. Pada keadaan itu, pengaruh dan popularitasnya merambat ke luar lingkungan gerak langkahnya hingga tanpa peduli bidangnya jadilah ia sebuah lambang atau representasi dari kelompoknya. Tidak heran jika kita mendengar keberadaan tokoh dari berbagai bidang, sejak tokoh penjahat, tokoh masyarakat, tokoh penegak hukum, hingga tokoh ulama.

Namun ketokohan juga memiliki kenisbian. Seorang tokoh yang reputasinya terjaga dan konsisten akan tetap diakui sampai akhir hayat dan akan jadi legenda. Sebaliknya, meskipun mempunyai reputasi luar biasa seorang tokoh bisa meredup kalau reputasi itu tidak terjaga dan tidak berkembang dengan baik atau mengalami guncangan yang inkonsisten dengan moral lingkungan ketokohannya. Soerang tokoh kritis yang dianggap sebagai penyambung lidah rakyat misalnya, akan ditinggalkan atau digantikan oleh tokoh baru ketika ia kedapatan "berselingkuh" dengan pihak yang ia kritisi.

Banyak contoh lain yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Yang sangat menonjol adalah seorang tokoh ulama muda yang dengan izin Allah sangat sukses membangun citra dan branding dirinya dalam waktu relatif singkat sehingga mempunyai banyak pengagum, terutama kaum wanita. Kejayaan itu runtuh seketika waktu dia akhirnya menjelaskan pada publik tentang poligami yang dijalaninya. Meskipun mungkin tidak ada yang salah dan itu halal, para pengikutnya melihat itu sebagai suatu inkonsistensi terhadap moral yang diusung sang tokoh selama ini.

Hari ini, kita dikejutkan lagi dengan kasus yang terjadi pada seorang tokoh formal dalam penegakkan hukum bidang tindak pidana korupsi. Meskipun kita tetap berprasangka baik dan menerapkan azas presumption of innocent, berita tentang keterlibatannya dalam hal lain di luar bidang profesinya ini mengalahkan kehebohan politik yang biasanya mendominasi media dan langsung menjatuhkan citra tokoh tersebut.

Kedua tokoh ini memang fenomenal. Sang ulama yang sebenarnya sampai sekarang pun kompetensinya masih mengena di hati ini demikian memikat dan menimbulkan empati yang dalam pada jamaah. Pada masa jayanya ia diperlakukan bagaikan seorang wali yang dalam zaman modern ini otomatis masuk ke dunia selebriti.

Sementara sang tokoh hukum, dengan lembaga dan posisinya juga sudah demikian menonjol reputasinya. Oleh mereka yang jadi target lembaganya, ia bagaikan seorang malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Bagi para pendukungnya dan pejuang anti-korupsi pula, ia adalah seorang pahlawan penegakan hokum diantara sedikit yang kita punya hari ini. Apa pun, citra kedua tokoh ini sudah terlanjur runtuh yang sekali gus juga memudarkan ketokohannya.

Hilangnya ketokohan secara mendadak ini perlu juga kita lihat secara batin. Seorang teman pernah mengatakan bahwa ketika ketokohan seseorang sudah sampai pada posisi yang membahayakan atau merugikan dirinya atau pengikutnya secara akidah, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain, mestinya tokoh itu berhenti dan kembali ke relnya. Namun jika tidak disadarinya atau malah lupa diri (takabur) maka Allah lah yang akan menghentikan dengan cara-cara yang tak terduga. Karena itu kompetensi dan reputasi kita harus senantiasa berorientasi pada stake holder dan dalam koridor syariat. Ini lah moral tulisan ini yang mudah-mudahan jadi pelajaran bagi kita. Dalam Al-Quran telah disebutkan bahwa Allah akan memberikan kekuasaan kepada yang dikehendakiNya dan mencabut pula kekuasaan itu dari yang tidak dikehendakiNya. Wallahualam.