09 Juli 2009

Pepatah

Dalam masyarakat Melayu sangat lazim penggunanan peribahasa atau pepatah. Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, atau pepatah (Wikipedia). Insterumen pepatah ini digunakan untuk menyampaikan sesuatu kekurangan atau kelemahan secara tidak langsung agar tidak menjadi perselisihan atau tetap dapat menjaga tali silaturrahim.


Bagi sebagaian orang atau generasi sekarang cara ini mungkin dianggap kurang efisien atau bertele-tele namun kalau kita kembalikan ke martabat kemanusiaan, pendekatan social-budaya ini tentu masih sangat relevan. Ia akan dapat menghindarkan gesekan atau menekan eskalasi tensi antara para pihak yang berbeda pandangan tentang suatu hal. Cara-cara yang langsung dan lugas (straight forward) bisa jadi efektif namun akan menjadi bahan bakar pada pihak lain yang merasa dirugikan atau yang terpojok. Selain bahwa pepatah itu suatu instrumen pergaulan dalam peradaban, kunci lain adalah pemahaman awal (biasanya mentradisi) terhadap maksud dari masing-masing pepatah sehingga ketika kita mendengarnya sudah otomatis tahu konteks dan kemana arah percakapan orang yang menyampaikannya.


Ada dua pepatah yang dapat dijadikan contoh pada era pemilihan langsung hari ini. Pertama, “Buruk muka, cermin dibelah”; maksudnya seseorang yang ketika bercermin melihat mukanya yang buruk atau tidak sesuai keinginannya lantas karena marah memecahkan cermin itu. Maknanya adalah orang yang tidak mau mengakui kekurangan diri sendiri tapi lebih cenderung mempermasalahkan dan menyalahkan orang lain. Terlepas dari kekurangan orang lain itu, secara akal-budi dan kemanusiaan yang bermartabat seyogyanya kita lebih melihat kekurangan dan kelemahan diri sendiri agar bisa melakukan koreksi terlebih dahulu. Akan jadi kontroversi jika kelemahan kita lebih besar dari kelemahan orang lain yang kita kritisi.


Pepatah kedua adalah: “Hidung tak mancung, pipi disorong-sorongkan.” Maksud pepatah ini adalah seseorang yang ternyata hidungnya tidak mancung sebagai salah satu lambang kegagahan atau kecantikan tapi mencoba menggantikannya dengan pipi yang fungsinya tentu berbeda. Agak sejalan dengan yang pertama, pepatah ini menggambarkan orang yang memaksakan kehendak agar diterima sebagai menantu, dalam jabatan tertentu, atau pemimpin sementara orang tahu ada kekurangannya sehingga tidak dipilih.


Sebenarnya ada banyak lagi peribahasa atau pepatah yang senada dengan keduanya, seperti: ”Kaki yang pincang, dikatakan lantai berjungkat” dan ” Tak lalu dandang di air, di gurun ditanjakkan juga” (dandang = perahu, pen). Sebaliknya, yang tidak akan kita kaji pada kesempatan ini, juga terdapat beberapa pepatah yang mengajarkan kearifan, kerendahan hati, dan sikap kesatria dan mau mengintrospeksi diri dalam tradisi Melayu.


Tunjuk ajar Melayu ini tentu lahir dari tradisi kehidupan yang sudah teruji dan disepakati.
Karena itu sudah sepatutnya kita simak kearifan yang diusungnya. Mudah-mudahan kita termasuk pada orang yang mau menyimak kaearifan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar