01 Juli 2009

M a r w a h

Manusia adalah ciptaan terbaik di muka bumi. Secara fisik ia memiliki tubuh yang paling lengkap dan sempurna. Yang lebih istimewa dari manusia adalah karena ia berakal-budi.


Berakal maksudnya manusia itu bisa berfikir, memahami, berinisiatif, menilai, berkarya, dan membedakan. Artinya manusia itu merdeka atau punya kebebasan untuk memilih mana yang baik dan buruk, antara yang putih dan hitam, serta antara yang bermanfaat dan sia-sia. Namun selain mengacu pada akal, gerak langkah manusia dikawal pula oleh rasa yang menurunkan budi. Budi adalah kesepakatan-kesepakatan tentang pilihan manusia akan sesuatu berdasarkan suatu keyakinan, misalnya norma hukum, sosial atau agama.


Pilihan-pilihan manusia sebagai makhluk sosial atau berkelompok, tidak bisa hanya berdasarkan saringan akal atau karena keinginan tapi harus pula mengacu pada budi tadi. Makin jauh dari budi maka makin kurang berharga secara sosial; makin dekat dan mengikuti nilai-nilai budi maka manusia itu akan makin dihargai oleh kelompoknya. Disini lah manusia berbeda dengan makhluk lainnya; manusia memiliki martabat atau marwah.


Karena itu meskipun merdeka, pilihan atau tindakan manusia harus berdasarkan pada suatu keinginan yang etis dan komit pada budi tadi. Dalam bahasa agama disebutkan bahwa nawaitu atau niatnya haruslah ikhlas dalam rangka mengabdi pada dan merelasikan diri dengan Sang Khalik, sesuai dengan misi penciptaan manusia. Selain niat, pilihan itu selain akan bermanfaat buat diri sendiri tentu juga buat orang lain sehingga akan menaikkan martabat si manusia. Yang terbaik secara falsafi adalah bila Suatu tindakan atau kebijakan membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the the greatest number).


Hari ini kita melihat banyak tingkah orang yang berada di luar koridor itu, kalau tidak mau menyebut sebagai orang banyak tingkah. Terlepas dari niat yang memang sulit kita ketahui, banyak orang yang dengan tanpa sungkan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan marwah dirinya sendiri. Pekerjaan atau keberhasilan orang lain bisa diakui sebagai karyanya, pekerjaan ramai-ramai dikatakan sebagai hasil kerjanya sendiri. Ada pula yang mau menghalalkan segala cara demi keberhasilan lahiriah meskipun orang tetap tahu bahwa itu hanya tingkah akrobatis atau artifisial semata.


Dalam konteks hari-hari ini, orang bahkan bukan hanya tak peduli pada marwah dirinya tapi malah meruntuhkan marwah kemanusiaan itu. Marwah manusia yang melekat ke akal-budi tadi, dengan mudah dikikis dengan pamrih atau berbagai kepentingan sesaat yang bermuatan politis, popularitas, atau dagang. Banyak tokoh tanpa sungkan membagi-bagi sembako atau paket bantuan kepada orang-orang tak mampu untuk menarik simpati dan suara pemilih, meskipun sebelumnya tidak pernah peduli pada kesusahan orang lain. Dengan maksud yang sama, ada pula orang yang tanpa beban menghamburkan janji-janji yang tidak rasional dan tidak realistis, padahal meskipun sebelumnya mampu tapi dia tidak berbuat banyak sebagaimana janjinya itu. Tidak kurang pula orang yang tanpa malu-malu mengkritisi kekurangan suatu sistem yang dia sendiri ada dan punya peran dalam sistem itu.

Hal ini terjadi karena kita kurang berpegang kuat pada akal budi yang sudah dikaruniakan pada manusia. Kita terkesima pada gemerincing mata uang, silau dengan gemerlapnya harta benda, dan menyembah kekuasaan.

Tanpa perlu tahu niatnya pun kita bisa melihat banyak orang menghamba pada hal-hal yang temporer dan artifisial sehingga tampak hampa dan tak bermarwah. Mestinya segala gerak langkah kita dimulai dengat niat yang baik dan bersifat hakiki atau substansial yang bersumber dari akal-budi tadi. Akal-budi juga kita gunakan untuk mendapatkan kesuksesan dalam hal apapun secara lebih bermarwah. Di tengah derasnya arus materialistik-hedonistik-sekularistik yang mengglobal hari ini, mampukah kita merefleksikan akal-budi yang menjunjung marwah kemanusiaan itu pada diri kita masing-masing?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar