04 Juli 2009

J o k i

Sebuah koran ibukota terbitan Jumat 3 Juli 2009 memuat berita tentang tertangkapnya 10 orang joki yang diduga mempunyai jaringan nasional. Jika berita ini dibaca ketika zaman pacuan kuda Pulomas Jakarta atau Bukit Ambacang Bukittinggi masih aktif, orang tentu akan bertanya-tanya: terlibat kasus apakah 10 anak pacuan kuda itu?

Joki memang orang yang profesinya menunggang kuda dalam pacuan. Supaya ringan, biasanya dipilih yang masih anak-anak atau tubuhnya relatif kecil tetapi sangat pintar mengendalikan kuda. Bukan supaya baik jalannya seperti dalam lagu Naik Delman itu tapi supaya kencang dan unggul mencapai garis finish dibanding kuda lainnya.

Joki yang dimaksud dalam berita itu bukan anak pacuan atau si penunggang kuda karena sedang tidak ada kegiatan pacu kuda. Penangkapan itu dalam konteks ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Makassar. Joki adalah seseorang yang ikut ujian itu untuk menuntun orang atau calon lain dengan berbagai cara supaya lulus untuk masuk perguruan tinggi favorit pilihannya yang tingkat peluangnya kecil.

Jadi, calon itu dengan sedikit “maksa” ingin diterima di fakultas pilihannya di suatu perguruan tinggi favorit. Karena kemampuan akademiknya sebenarnya tidak memadai atau karena kurang rasa percaya diri, dia cenderung mencari jalan pintas dengan bantuan seseorang dalam ujian itu. Orang yang biasanya pintar dalam mata-ujian mata-ujian itu lah yang disebut joki yang melakukan itu dengan imbalan. Diantara kedua pihak sudah membuat komitmen sejak awal tentang trik bagaimana mendapatkan tempat yang berdekatan dan cara berinteraksi dalam ruang ujian serta apa imbalannya.

Bukan untuk maksud “mengajarkan” cara kotor ini (“jangan ditiru,” pesan acara-acara demonstratif-akrobatis yang berbahaya), dapat kita duga bahwa trik yang dijalankan sangat beragam yang kadang tidak terbayangkan sebelumnya. Sebagaimana yang dilaporkan koran itu, sang joki memberikan jawaban soal kepada kliennya. Jaringan joki di Makasar ternyata terdiri dari 10 orang (1 orang mahasiswa Unhas dan 9 mahasiswa ITB!!!) dengan 6 orang klien yang dikoordinasikan oleh seorang sarjana kedokteran Unhas. Para pengguna jasa joki itu akan membayar Rp 135 juta jika nanti lulus SNMPTN.

Sementara itu dilaporkan pula di Bandung, ada dua peserta SNMPTN yang melakukan kecurangan dengan alat komunikasi canggih berupa microchip mini seukuran kurang dari koin Rp 100. Panitia juga menyita dua telepon seluler, transmitter, dan kabel yang berwarna seperti kulit manusia. Karena itu panitia SNMPTN lokal Bandung menduga masih ada 13 orang pelaku lain yang terkait ke jaringan organisasi nasional.

Mencermati trik-trik yang dipakai, penggunaan joki ini bisa saja dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung-jawab pada berbagai taraf dan jenis pendidikan. Dengan berbagai trik, joki bisa beroperasi pada tes masuk SMU atau masuk jenjang S2 dan S3. Bisa pula terjadi pada tes bahasa seperti TOEFL, seleksi pendidikan penjenjangan karir PNS, atau ujian sertifikasi profesi. Semuanya tentu kembali pada nurani dan moral para joki dan pelakunya.

Terlepas dari masalah moral, seseorang yang “berhasil mengelabui diri sendiri” itu belum tentu akan bisa berhasil dalam proses belajarnya. Sewaktu-waktu bisa muncul dari nuraninya rasa malu atau bersalah telah menempuh jalan serong itu, apalagi jika dia menemui hambatan atau kegagalan secara parsial. Jika pun lolos dari jerat hukum dan berhasil lulus, mungkin dengan nilai yang pas-pasan, rasa bersalah atau tidak percaya diri yang baru akan muncul lagi ketika menghadapi realita kehidupan di lapangan yang sering tidak mudah. Sebenarnya, antara atribut yang didapat dengan cara yang berbau off-side atau semu dan harkat kemanusiaan, manakah yang lebih berharga bagi para pelaku ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar