25 Oktober 2009

Pengalaman Kecelakaan Mobil (3)

Pengalaman kecelakaan mobil yang saya tumpangi mencederai orang lain pernah pula saya alami, kalau tidak salah bulan Ramadhan tahun 1994. Ketika itu saya dan seorang rekan kantor sedang melaksanakan tugas ke Tembilahan (Inderagiri Hilir) dan Rengat (Inderagiri Hulu) dengan menggunakan sebuah mobil dinas. Ketika itu belum zaman handphone seperti saat ini dan kondisi jalan belum sebagus sekarang dan penyeberangan Sungai Inderagiri di Teluk Kiambang masih menggunakan ferry.

Mengingat penyeberangan itu sering menjadi bottle neck maka kami mengatur strategi agar pelaksanaan tugas kami berjalan lancar dan bisa segera pulang bersama-sama ke Pekanbaru. Setelah “duduk” urusan di Tembilahan, pagi-pagi saya berangkat menuju Rengat agar mobil tidak terjebak di penyeberangan dan saya bisa berurusan pula di Rengat. Rekan saya akan menunggu penyelesaiannya di Tembilahan dan kemudian akan menyusul ke penyeberangan dengan kendaraan umum . Setelah mengantar saya ke Rengat, mobil nanti akan akan kembali ke penyeberangan dan menunggunya di sisi arah ke Rengat. Yang pernah mengalami perjalanan ke Inderagiri Hilir pada zaman masih ada rakit atau ferry penyeberangan rasanya bisa membayangkan suasananya.

Kembali ke cerita perjalanan, setelah menyeberang dan dalam perjalanan menuju Rengat, sekitar pukul 10 pagi, kami berpapasan dengan seorang teman baik saya (seorang pengusaha) yang sedang mengendarai sebuah mobil sedan bagus ke arah Tembilahan. Teman itu menghentikan saya dan mengajak berbual karena memang sudah lama tidak jumpa. Saat itu dia sedang dimintakan tolong untuk membawakan sedan mewah milik seseorang yang pindah dari Pekanbaru ke Tembilahan. Karena senang nyetir dan mobil itu comfortable maka dari Pekanbaru dia menyupiri mobil itu sendiri.

Kemudian dia menawarkan untuk mengantarkan saya sampai ke Rengat, dengan alasan masih ingin ngobrol. Saya merasakan, sebenarnya dia ingin mengantarkan saya dengan mobil bagus itu karena merasa selama ini saya banyak memotivasi dan membantunya. Selain itu jalan sepanjang sekitar 40 kilometer lagi ke arah Rengat dalam keadaan tidak mulus.

Berkali-kali dan dengan serius saya menolak tawarannya karena tidak praktis dan tidak efisien. Alasan saya bahwa Rengat sudah dekat dan kita harus bergerak lebih efisien dalam bulan puasa yang ketika itu panas dan kering diabaikannya. Dia tetap memaksa untuk mengantarkan saya ke Rengat.
“Nanti capek dan tak terkejar buka di Tembilahan, “ kata saya. “Puasa kan? “ tanya saya lagi.
“Iya pak,” jawabnya singkat dan mempersilakan saya naik ke mobil itu.

Akhirnya dengan rasa sesuatu yang masih mengganjal, entah apa, saya penuhi juga keinginannya. Kami berdua berangkat ke arah Rengat dan mobil dinas saya minta kembali ke penyeberangan menunggu rekan saya. Sepanjang jalan kami banyak bernostalgia dan saling cerita pekerjaan masing-masing dalam suasana santai, meskipun hati saya berkata-kata bahwa dia nanti akan cape dan mungkin jadi tidak bisa berbuka puasa di rumahnya. Sampai terjadi lah kejadian yang naas itu.

Kecepatan mobil ketika itu rasanya tidak tinggi karena saya dapat memperhatikan keadaan kiri kanan jalan dengan baik. Kecelakaan itu berlaku di suatu segmen jalan yang lurus sesudah sebuah tikungan di daerah yang tidak ramai, baik penduduk maupun lalu lintasnya. Mula-mula saya melihat seseorang keluar dari halaman rumahnya yang lebih rendah, naik ke bahu jalan. Saya yakin teman itu juga melihatnya, seorang ibu yang mengenakan kain dan memakai kain tutup kepala (biasa disebut tengkuluk) berjalan searah dengan kami, karena dia segera menggeser posisi lintasan mobil lebih ke tengah untuk menjauhi orang itu.

Akan tetapi yang namanya naas, ketika mobil kami sudah hampir sejajar dengannya, ibu itu tanpa menoleh ke belakang tiba-tiba berjalan serong ke tengah jalan. Teman saya yang tidak menyangka kejadian itu membanting stir ke kanan namun tidak sempat lagi menginjak rem. Ibu itu tertabrak sisi samping kiri mobil seakan-akan saya bertumburan dengannya waktu ia jatuh terpental. Mobil kami segera berhenti sekitar 40 meter dari tempat kejadian dan dua orang kampung datang berlari ke tempat kejadian. Semula mereka “agak tinggi” tapi menjadi wajar kembali ketika mereka melihat kami juga berlari ke arah korban sambil beristighfar. Akhirnya disepakati untuk segera menaikkan sang korban yang tidak sadarkan diri dan sedikit luka ke mobil dan bersama kedua orang itu kami segera ke rumah sakit di Pematang Rebah, Rengat.

Singkat cerita, setelah melalui proses yang panjang di UGD alhamdulillah ibu itu tertolong dan kami berbuka hanya dengan sepotong roti dan air putih. Setelah maghrib, mobil dan rekan kerja saya muncul ke rumah sakit. Dia dapat kabar dari mulut ke mulut tentang kejadian itu dan langsung mengambil langkah yang perlu sehingga tugas di Rengat juga telah selesai. Beberapa keluarga korban juga sudah sampai di rumah sakit dan kami berunding dengan penuh rasa kekeluargaan dan saling pengertian, sebagaimana lumrahnya budi-bahasa masyarakat desa kita yang sebenarnya. Setelah semuanya jelas dan sepakat, dengan berat hati saya pamit untuk meneruskan perjalanan ke Pekanbaru dan teman tadi berangkat ke Tembilahan.

Beberapa bulan kemudian saya bertemu lagi dengan teman itu dan dia bercerita beberapa hal yang berkaitan dengan kecelakaan itu. Pertama, ibu itu sudah pulih meskipun harus mendapat perawatan jalan beberapa bulan. Terungkap kemudian bahwa ketika kecelakaan itu sang ibu akan pergi mandi ke sungai karena kepanasan. Dia tidak begitu mendengar suara mobil kami dan memang terbiasa dengan cara menyeberang yang demikian karena daerah itu sepi. Kedua, ketika kecelakaan itu terjadi sebenarnya teman saya itu tidak berpuasa tanpa alasan yang kuat, kecuali karena ingin merokok dan tidak ada orang lain bersamanya di perjalanan. Ketiga, kebohongannya kepada saya tentang puasa itu telah menjadi beban mental baginya. Dia sudah berniat untuk “ngaku dosa” kepada saya pada kesempatan pertama bertemu.

Semua itu membuat dia dapat menerima dengan ikhlas kejadian kecelakaan itu sebagai tegoran dari Allah kepadanya. Sejak saat itu dia menjadi sadar akan kekurangan dan kelalaiannya sebagai manusia, kepada manusia, dan kepada Tuhan. Yang sangat disayangkan adalah hikmah positif itu memerlukan pengorbanan si ibu dalam kecelakaan itu. Tapi itu lah rahasia Allah Swt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar