Tampilkan postingan dengan label caleg. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label caleg. Tampilkan semua postingan

07 April 2009

G O L P U T .....rugi!!!

Golput atau Golongan Putih mulai popular pada zaman Orde Baru, ketika peserta Pemilu terdiri dari dua partai dan satu golongan. Ketika itu, secara dominan Soeharto mengendalikan berbagai aspek kekuasaan sehingga mengebiri hak-hak politik rakyat. Hampir semua komponen bangsa digiring ke Golongan Karya dengan berbagai cara; sisanya dianggap sebagai anti Orde Baru dan bisa dipelintir menjadi anti pembangunan bangsa.


Dalam situasi itu muncul pemikiran banyak orang yang sebenarnya sangat mencintai bangsa ini yang tidak mau menerima opresi politik demikian. Mereka tidak dapat menerima konsep monoloyalitas yang arahkan ke Golongan Karya tapi juga sulit menerima kenyataan bahwa dua partai yang ada, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, juga tidak dapat diandalkan. Karena tidak ada pilihan itu lah maka keluar pilihan baru ala plesetan yaitu Golongan Putih atau Golput, yang maksudnya tidak mau memilih partai mana pun.


Hari ini, partai politik demikian banyak termasuk Partai Golkar yang tentunya juga sudah mengalami metamorfosa reformasi. Dari sekian banyak partai, rasanya tidak mungkin jika tidak ada satu pun yang platform, ideologi, dan perjuangannya yang tidak cocok untuk dipilih. Demikian pula calegnya, terlepas dari partai dan nomor urutnya, masih bisa kita dapatkan yang baik dari yang ada. Karena itu, sangat rugi jika kita tidak menggunakan hak pilih tanggal 9 April.


Kenapa rugi? Pertama, kalau pikiran kita lurus dan benar, maka tentu kita juga pendukung dan pencinta kebenaran. Kata orang bijak, tidak akan tegak kebenaran tanpa didukung oleh kekuatan atau kekuasaan. Banyak contoh bagaimana kepentingan orang salah diuntungkan karena kekuasaan, sebaliknya tidak kurang banyak pula contoh bahwa kepentingan orang yang benar dirugikan karena dia lemah.


Kedua, salah satu unsur pokok yang menentukan baik buruknya masyarakat adalah pemimpin. Pemilu adalah kesempatan kita berpartisipasi untuk ikut menentukan para pemimpin di negeri ini. Jika kita tidak ikut memilih maka akan memperbesar peluang orang-orang yang tidak sesuai dengan kriteria kita yang akan terpilih jadi pemimpin karena didukung oleh orang-orang yang punya kepentingan sejalan dengan calon itu.


Ketiga, jika kita tidak ikut memilih maka dapat dikatakan kita tidak akan mendapat pengalaman berharga apapun. Apapun hasil akhir Pemilu, tidak akan ada rasa bahagia di kemudian hari bahwa kita telah berbuat sesuatu. Bisa jadi timbul rasa menyesal karena kita tidak berbuat apapun meskipun itu kecil sekali dari skala kegiatannya tapi sebenarnya sangat besar artinya secara emosional. Akan cukup sulit menjelaskan pertanyaan anak-saudara kita: “hare gene masih golput?”


Mari kita manfaatkan momen bersejarah lima tahunan ini dengan baik; kita dating ke TPS dan mencontreng caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten atau Kota domisili kita. Terus bingung mau memilih siapa?


Untuk DPD yang non-partai tentu tidak lah sulit; tinggal mencontreng caleg yang paling baik menurut kita. Lihat track-recordnya, lihat ketauladanannya, kemauannya berkorban untuk orang lain, dan reputasinya dalam masyarakat, dan ukuran-ukuran lain yang patut dalam memilih seorang pemimpin. Seorang anggota DPD nanti tentu akan ikut juga menentukan arah dan langkah perjalanan bangsa kita ke depan.


Bagaimana dengan anggota DPR dan DPRD? Memang ini memerlukan sedikit perhatian dari kita. Jika kita seorang simpatisan atau pendukung suatu partai, tinggal memilih favorit kita dari daftar caleg partai itu. Kalau perlu, buat catatan kecil nomor urut partai dan nomor urut caleg yang akan dipilih dari masing-masing DPR dan DPRD supaya tidak lupa atau salah contreng. Apalagi jika kita tidak peduli dengan partainya tapi sudah menetapkan keinginan kita untuk memilih caleg dari partai yang berlainan, maka catatan tadi akan sangat membantu.


Kalau bingung memilih partai atau calegnya, tinggal kita kembalikan saja ke karakteristik partai atau caleg yang sesuai dengan keinginan kita. Pilihlah partai yang kita cocok, jika tidak ada calegnya yang kenal mungkin lebih baik pilih yang posisi teratas karena pada umumnya caleg nomor urut teratas itu diandalkan oleh partainya atau bisa juga yang perempuan jika kita ingin lebih banyak perempuan di parlemen.


Sedangkan kriteria caleg yang baik tentu dapat ditentukan secara lebih mudah dengan akal sehat saja. Ada juga pandangan yang berasal dari hadits yang intinya demikian: “Jangan pilih yang sangat mau, juga yang tidak mau atau yang tidak mampu. Pilih lah pemimpin yang akan bawa kebenaran.” Yang jelas: RUGI DAN TIDAK ADA GUNANYA MENJADI GOLPUT!!!

28 September 2008

Telatah Melayu: Batal Jadi Caleg

Syahdan, tiga orang budak Melayu – Atan, Awang, dan Pudin – berbual-bual jelang buka puasa. Atan adalah seorang mahasiswa putus kuliah yang sekarang beternak kambing. Awang yang cuma tamatan SMP meneruskan usaha ayahnya sebagai pedagang ojol sedang Pudin adalah sarjana lulusan Timur Tengah yang jadi kepala madrasah di kampung mereka.

“Bang Awang, aku dengar abang nak maju jadi caleg. Betul kah?” tanya Atan.
“Kau ni tau aja lah, Tan... Kambing kau tu kah yang cakap?”
“Dah banyak yang cakap di kampung ni bang. Semula, orang-orang tu kira yang nak maju bang Pudin ni,” tunjuk Atan pada Pudin. “Kenapa tak bang Pudin yang dah dikenal orang ni yang kita dukung? Sekolahnya pun dari Arab sana. Umur dan pengalamannya dah patut untuk jadi caleg tu.” Karena dibandingkan dengan sang kepala madrasah, Awang tak berani menjawab.

“Tak lah, Tan… biarlah aku di madrasah aja. Sayang budak-budak yang rajin-rajin tu,” tanggap Pudin beberapa saat kemudian.
“Tapi nampaknya abang lah yang bisa mewakili orang di kampung ni. Abang ngerti banyak hal; abang pun banyak kenal petinggi di kota sana. Rasanya banyak yang abang bisa buat nanti untuk kemaslahatan kita ni,” ucap Atan lagi.
“Satu sisi betul, Tan. Aku tak tahan liat orang bertungkus lumus di kantor pos nak ngambil BLT itu. Bila ternampak pula Mak Joyah yang dah tua tu masih cari kayu api ke hutan sana karena minyak tanah sulit dan mahal di negeri penghasil minyak ni dan sekolah-sekolah yang dah nak roboh, memang geram kita. Tapi aku dah senang ngajar budak-budak di madrasah tu. Lagi pun nak jadi caleg tu zaman sekarang ni tak mudah.”
“Tak mudah macam mana, bang?” tanya Awang agak terkejut.
“Kan bayak syarat-syaratnya. Aku pun bukan orang partai. Kalau tiba-tiba masuk jadi caleg tentulah pengurusnya melihat dulu apa untungnya,” jelas Pudin.
“Nah…betul tu bang,” sambut Atan bersemangat. “Jika aku ketua partai, siapa yang nak jadi caleg akan aku tanya dulu apa sanggup nyumbang?”
“Aku sanggup,” tingkah Awang merasa disindir oleh seorang peternak kambing.
“Kalau dia minta nomor urut kecik, ada lagi tambahannya. Kalau bang Awang ni, aku tanya lagi yang untuk aku…. he he he …,” kata Atan mengikik sambil mengedipkan matanya dan menggeser-geserkan jarinya seperti menghitung uang.
“Hijau juga mata kau, Tan..! Terpikir sama engkau jadi ketua partai macam tu ya?” komentar Pudin.
“Kan caleg macam bang Awang ni, banyak duitnya. Surat menyurat kurang-kurang sikit tak apa-apa lah. Lagi pun bang Awang dah ngurus ijazah SMA jarak jauh tu kan, bang?”
“Dari siapa pula kau tau, Tan?” tanya Awang malu-malu karena dia memang sedang mencari ijazah aspal SMA. Pudin nampak senyum-senyum saja.
“Waktu kampanye nanti, kalau abang nak menang tentu harus bagi-bagi baju kaus atau sembako.”
“Aku bisa jual kebun getah aku,” tingkah Awang lagi tak mau kalah.
Dengan cepat Atan melanjutkan:
“Tambah ongkos abang kesana kemari dan upah tim sukses, bisa habis dua milyar rupiah.”
“Hah…??? Dua milyar? Menyanyah kau, Tan…!”
“Siapa cakap gitu, Tan? tanya Pudin menengahi. Awang yang terheran-heran mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan pertanyaan Guru Pudin tu.
“Itu hitung-hitungan aku aja, coba kira kalau harus siapkan 100 ribu lembar kaus dan ribuan paket sembako untuk kampanye. Buruk-buruk gini, aku pernah jadi tim sukses Bupati kita ni. Untuk jadi bupati, apalagi gubernur, akan berlipat-lipat lagi bang. Makanya aku tak mau jadi caleg tu karena kalau aku itung biayanya sama dengan hasil ternak aku 1000 bulan atau kami tak makan 83 tahun. Mungkin bang Awang ni lah yang sanggup,” jelas Atan.
“Tak lah Tan… dari pada menang belum tentu, kebun getah terjual pula,” jawab Awang menyurut.

Pudin yang dari tadi lebih banyak mendengar akhirnya menimpali:
“Itulah, masing-masing kita ni ada kelebihan dan kekurangan. Ada yang punya duit, syarat kurang atau tak dikenal orang; atau sebaliknya. Sebenarnya kalau nak berhasil kita harus kerja berjamaah; siapa calegnya, siapa yang dukung duitnya, siapa yang jadi tim sukses.”
“Tapi bang….,” potong Awang dengan gugup, kawatir dua kawannya itu akan memojokkannya supaya keluar duit untuk dukung Pudin jadi caleg.
“Tapi…. , apa caleg itu memang pilihan yang terbaik? Siapa pun yang keluar duit gitu banyak, tentu nak minta pengembalian atau balasannya. Bagaimana membalikkannya jika tidak dengan kerja menyalah setelah jadi nanti? Yang lebih penting, jika jabatan didapat bukan karena diamanahkan tapi dengan cara dibeli semacam itu, tidak akan diberkahi dan dibantu Allah. Makanya lebih baik kita mensyukuri nikmat yang sudah dianugerahkan Allah pada kita sekarang ini. Usahakan dengan baik dan sekuat tenaga. Nampaknya kita memang lahir tidak pada zaman yang tepat,” pungkas Pudin filosofis.
“Ya lah bang,” kata Awang dan Atan hamper serentak.
“Baliklah kita, kejap lagi azan. Assalamulaikum,” kata Pudin menyudahi bual-bual mereka.
"Waalaikum salam, bang."