28 September 2008

Telatah Melayu: Batal Jadi Caleg

Syahdan, tiga orang budak Melayu – Atan, Awang, dan Pudin – berbual-bual jelang buka puasa. Atan adalah seorang mahasiswa putus kuliah yang sekarang beternak kambing. Awang yang cuma tamatan SMP meneruskan usaha ayahnya sebagai pedagang ojol sedang Pudin adalah sarjana lulusan Timur Tengah yang jadi kepala madrasah di kampung mereka.

“Bang Awang, aku dengar abang nak maju jadi caleg. Betul kah?” tanya Atan.
“Kau ni tau aja lah, Tan... Kambing kau tu kah yang cakap?”
“Dah banyak yang cakap di kampung ni bang. Semula, orang-orang tu kira yang nak maju bang Pudin ni,” tunjuk Atan pada Pudin. “Kenapa tak bang Pudin yang dah dikenal orang ni yang kita dukung? Sekolahnya pun dari Arab sana. Umur dan pengalamannya dah patut untuk jadi caleg tu.” Karena dibandingkan dengan sang kepala madrasah, Awang tak berani menjawab.

“Tak lah, Tan… biarlah aku di madrasah aja. Sayang budak-budak yang rajin-rajin tu,” tanggap Pudin beberapa saat kemudian.
“Tapi nampaknya abang lah yang bisa mewakili orang di kampung ni. Abang ngerti banyak hal; abang pun banyak kenal petinggi di kota sana. Rasanya banyak yang abang bisa buat nanti untuk kemaslahatan kita ni,” ucap Atan lagi.
“Satu sisi betul, Tan. Aku tak tahan liat orang bertungkus lumus di kantor pos nak ngambil BLT itu. Bila ternampak pula Mak Joyah yang dah tua tu masih cari kayu api ke hutan sana karena minyak tanah sulit dan mahal di negeri penghasil minyak ni dan sekolah-sekolah yang dah nak roboh, memang geram kita. Tapi aku dah senang ngajar budak-budak di madrasah tu. Lagi pun nak jadi caleg tu zaman sekarang ni tak mudah.”
“Tak mudah macam mana, bang?” tanya Awang agak terkejut.
“Kan bayak syarat-syaratnya. Aku pun bukan orang partai. Kalau tiba-tiba masuk jadi caleg tentulah pengurusnya melihat dulu apa untungnya,” jelas Pudin.
“Nah…betul tu bang,” sambut Atan bersemangat. “Jika aku ketua partai, siapa yang nak jadi caleg akan aku tanya dulu apa sanggup nyumbang?”
“Aku sanggup,” tingkah Awang merasa disindir oleh seorang peternak kambing.
“Kalau dia minta nomor urut kecik, ada lagi tambahannya. Kalau bang Awang ni, aku tanya lagi yang untuk aku…. he he he …,” kata Atan mengikik sambil mengedipkan matanya dan menggeser-geserkan jarinya seperti menghitung uang.
“Hijau juga mata kau, Tan..! Terpikir sama engkau jadi ketua partai macam tu ya?” komentar Pudin.
“Kan caleg macam bang Awang ni, banyak duitnya. Surat menyurat kurang-kurang sikit tak apa-apa lah. Lagi pun bang Awang dah ngurus ijazah SMA jarak jauh tu kan, bang?”
“Dari siapa pula kau tau, Tan?” tanya Awang malu-malu karena dia memang sedang mencari ijazah aspal SMA. Pudin nampak senyum-senyum saja.
“Waktu kampanye nanti, kalau abang nak menang tentu harus bagi-bagi baju kaus atau sembako.”
“Aku bisa jual kebun getah aku,” tingkah Awang lagi tak mau kalah.
Dengan cepat Atan melanjutkan:
“Tambah ongkos abang kesana kemari dan upah tim sukses, bisa habis dua milyar rupiah.”
“Hah…??? Dua milyar? Menyanyah kau, Tan…!”
“Siapa cakap gitu, Tan? tanya Pudin menengahi. Awang yang terheran-heran mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan pertanyaan Guru Pudin tu.
“Itu hitung-hitungan aku aja, coba kira kalau harus siapkan 100 ribu lembar kaus dan ribuan paket sembako untuk kampanye. Buruk-buruk gini, aku pernah jadi tim sukses Bupati kita ni. Untuk jadi bupati, apalagi gubernur, akan berlipat-lipat lagi bang. Makanya aku tak mau jadi caleg tu karena kalau aku itung biayanya sama dengan hasil ternak aku 1000 bulan atau kami tak makan 83 tahun. Mungkin bang Awang ni lah yang sanggup,” jelas Atan.
“Tak lah Tan… dari pada menang belum tentu, kebun getah terjual pula,” jawab Awang menyurut.

Pudin yang dari tadi lebih banyak mendengar akhirnya menimpali:
“Itulah, masing-masing kita ni ada kelebihan dan kekurangan. Ada yang punya duit, syarat kurang atau tak dikenal orang; atau sebaliknya. Sebenarnya kalau nak berhasil kita harus kerja berjamaah; siapa calegnya, siapa yang dukung duitnya, siapa yang jadi tim sukses.”
“Tapi bang….,” potong Awang dengan gugup, kawatir dua kawannya itu akan memojokkannya supaya keluar duit untuk dukung Pudin jadi caleg.
“Tapi…. , apa caleg itu memang pilihan yang terbaik? Siapa pun yang keluar duit gitu banyak, tentu nak minta pengembalian atau balasannya. Bagaimana membalikkannya jika tidak dengan kerja menyalah setelah jadi nanti? Yang lebih penting, jika jabatan didapat bukan karena diamanahkan tapi dengan cara dibeli semacam itu, tidak akan diberkahi dan dibantu Allah. Makanya lebih baik kita mensyukuri nikmat yang sudah dianugerahkan Allah pada kita sekarang ini. Usahakan dengan baik dan sekuat tenaga. Nampaknya kita memang lahir tidak pada zaman yang tepat,” pungkas Pudin filosofis.
“Ya lah bang,” kata Awang dan Atan hamper serentak.
“Baliklah kita, kejap lagi azan. Assalamulaikum,” kata Pudin menyudahi bual-bual mereka.
"Waalaikum salam, bang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar