02 September 2008

Mutasi Versus Pembusukan

Tanggal 25 Agustus lalu terjadi mutasi (plus penonaktifan) sejumlah besar pejabat Eselon II dan III di lingkungan pemerintah Provinsi Riau. Perubahan itu dilakukan dengan harapan untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Beberapa person yang dinilai posnya kurang tepat dipindahkan ke tempat yang dianggap lebih pas supaya kinerjanya lebih baik.

Sebagaimana lazimnya, mutasi kali ini juga menimbulkan beragam reaksi. Meskipun Pelaksana Tugas Sekda Provinsi menyebutkan bahwa di lingkungan PNS mutasi adalah suatu hal yang biasa, namun tanggapan dari berbagai pihak tetap beragam. Sebagian menegaskan bahwa itu adalah wajar dan hak pimpinan, sebagian lain pula melihat hal yang kurang efektif. Apatah lagi ada empat belas orang pejabat eselon II yang tidak mendapatkan pos sama sekali; diantaranya ada yang tidak tahu apa kesalahannya.

Keadaan ini tentu sangat sulit disikapi karena ada dua hal yang kontradiktip. Satu pihak pimpinan punya penilaian dan kewenangan untuk menentukan pembantunya, di lain pihak masing-masing para pejabat yang terkena tentu merupakan seorang PNS karir yang tidak dengan mudah dan sederhana sampai ke posisinya. Keadaan ini tentu perlu dicari jalan tengah yang se-objektif mungkin (Sayangnya bersikap objektif inilah yang sulit bagi kita para khalik yang dhaif ini....).

Kalau dengan pemahaman secara sederhana, seseorang itu terkena mutasi atau perubahan jabatan itu karena tiga hal: 1). mendapat promosi ke posisi yang lebih tinggi atau sama tapi dianggap lebih berbobot karena kinerjanya baik, berprestasi, atau track recordnya tidak ada yang cacat, 2). sebagai tour of duty atau tour of area untuk penyegaran atau memperkaya visi dan sikap kepemimpinannya, 3). sebagai mekanisme pemberian sanksi karena pimpinan menilai ada yang tidak pas, misalnya: kinerja, keahlian, pendidikan, pengalaman, loyalitas (tentunya dalam arti luas), indispliner atau melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima.

Apapun, yang jelas masalah yang terkait ke pengembangan potensi SDM ini memang harus ditangani dengan kehati-hatian. Di tengah perjuangan kita untuk memajukan masyarakat dan bangsa ini, SDM di lingkungan pemerintah memainkan peran yang sangat penting. Bila SDM yang ada tidak ditingkatkan atau tidak berperan serta bermanfaat secara maksimal tentu kita juga yang akan rugi secara kolektif. Mutasi sesuai tujuan mulianya tentu tidak perlu berhadap-hadapan dengan pembusukan kelembagaan instansi pemerintah. Agar tidak terjebak kepada subjektifitas, politik praktis misalnya, tentu para PNS harus memperhatikan rambu-rambu birokrasi secara proporsional dan profesional.

Karena pimpinan berada pada domain lain, bagi seorang PNS tentu hanya bisa dan perlu menjaga kepentingan yang ada dalam garis demarkasinya. Karena itu hendaknya senantiasa mempertimbangkan hal-hal berikut: 1). jabatan birokrasi PNS merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat dengan undang-undang melalui pimpinan, 2). seorang pejabat dituntut untuk menjalankan amanah itu sesuai ketentuan yang ada dengan unjuk kerja yang terbaik dan benar sesuai kemampuannya, 3). penilaian dilakukan oleh dan merupakan hak atasan, 4). berdoa agar atasan berlaku objektif. Dengan demikian, apapun yang terjadi diharapkan tidak terlalu banyak merugikan seorang pejabat PNS in person sehingga dampaknya tidak menimbulkan pembusukan kelembagaan akibat melemahnya "the man behind the gun".

Mudah-mudahan Allah memberikan kasih sayangnya pada kita semua.

3 komentar:

  1. Makna yang dalam dan bijak......RIAU maju terus

    BalasHapus
  2. Para PNS biasanya hanya melihat bahwa yang namanya jabatan adalah jabatan struktural. Memangku jabatan struktural adalah karir mereka. Dengan memangku jabatan struktural maka 4 tingkatan kebutuhan Maslow dapat dipenuhi karena padanya melekat banyak sumber daya: kekuasaan, uang dan kehormatan.

    Saya berpendapat bahwa menentukan pembantunya adalah hak prerogatif seorang kepala daerah sehingga karir yang dibina oleh seorang PNS tidak boleh mengurangi hak itu. Untuk itu memang perlu dibina suatu sistem agar potensi yang ada pada seorang PNS dapat tetap bermanfaat bagi masyarakat, manakala dia tidak menjabat lagi. Sistem itu sudah ada yaitu adanya jabatan fungsional.

    Pada tahun 1998 saya pernah mengikuti suatu seminar yang mengusulkan bahwa semua PNS adalah pejabat. Kalau seorang PNS tidak menjabat jabatan struktural maka tentulah dia seorang pejabat fungsional. Pangkat seorang PNS ditentukan oleh prestasinya/produktivitasnya pada jabatan fungsional bukan karena jabatan strukturalnya. Jabatan struktural dapat disandang oleh mereka yang mempunyai kemampuan manajerial.

    Usulan itu saya rasa dapat menjawab pernyataan Keadaan ini tentu perlu dicari jalan tengah yang se-objektif mungkin. Jalan tengahnya bukan pada keputusan kepala daerah tetapi pada sistemnya. Lebih jauh, Saya berpendapat usulan tersebut akan dapat memberdayakan PNS dari rekrutmen sampai pensiun karena sepanjang karir mereka terpacu untuk produktif. Ketika mereka produktif saya yakin kebutuhan teratas Maslow otomatis tercapai.

    Salam

    BalasHapus
  3. Pak Edi, tks komennya. Harapan kita memang agar Riau terus tambah maju...

    Pak Jo, persepsi yang sama dan kearifan bersama seperti itu lah yang kita harapkan demi kemajuan kita bersama. Tks.

    BalasHapus