Tampilkan postingan dengan label karakter/SDM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label karakter/SDM. Tampilkan semua postingan

22 Maret 2009

Lambat

Lambat yang sebenarnya bersifat netral, mempunyai makna tentang sifat gerak yang sedikit per satuan waktu. Ketika kata lambat berubah menjadi lamban yang menunjukkan sifat yang sudah melekat pada orang atau sesuatu yang bergerak maka ia berkonotasi negatif karena kita kurang suka pada hal yang kurang produktif atau lambat, apalagi untuk urusan birokrasi.

Birokrasi yang merupakan proses administrasi dan keuangan di kantor-kantor yang dijalankan sekelompok orang dengan berbagai aturan, tentu diharapkan berjalan baik dan tertib. Kata baik berarti tepat, benar, cepat, dan efisien yang dilakukan oleh orang yang kompeten dan kapabel. Tertib menggambarkan kesesuaian dengan aturan, teratur, dan sebagainya. Anehnya, kata birokrasi cenderung berkonotasi negatif karena mempunyai citra sebagai lambat atau suatu proses yang lamban.

Birokrasi yang lamban memang akan berdampak pada kinerja dan citra institusi, baik perusahaan swasta, organisasi, atau kantor pemerintah. Institusi bisa merugi karena kurang efisien dan kehilangan pelanggan atau stake holder. Di perusahaan swasta birokrasi yang lamban akan segera terpantau karena berdampak langsung secara ekonomis; di organisasi mungkin akan lebih banyak merugikan citranya di mata para anggota atau masyarakat yang berhubungan. Bagaimana dengan instansi pemerintah?

Meski dampaknya sama, namun di semua belahan bumi ini, jika dibandingkan dengan instansi pemerintah umumnya kurang peduli pada dampak suatu birokrasi yang lamban. Kelambanan birokrasi dapat kita bedakan dari penyebabnya, yaitu karena:

1. Proses yang tidak simpel atau berbelit-belit
2. Orang yang melakukan pelayanan birokrasi memang etos kerjanya lambat, terlalu hati-hati dan peragu, atau karena tidak kompeten
3. Orangnya memang berniat untuk memperlambat proses dengan berbagai alasan dan tujuan yang tidak baik
4. Kombinasi dari dua atau semua sebab di atas.

Pada era madani saat ini, semua pihak sudah harus mengantisipasi kelambatan pelayanan dan kelambanan gerak institusi. Di lingkungan dunia usaha kita, mengenal adanya good corporate govenrnance sedangkan di pemerintahan ada good governance dan clean government. Seorang pakar manajemen mempopulerkan bahwa kita harus berubah, kalau tidak kita akan mati. Hal ini tentu berlaku untuk segala institusi sehingga kita harus mengancang-ancang terapi yang perlu.

Pertama, sederhanakan proses dan prosedur birokrasi seperti perizinan dan interaksi administrasi dan keuangan. Proses yang rumit dan panjang dapat dipermudah dengan pemahaman yang lebih baik melalui bagan alir, mengangsur rantai proses lebih awal, otomatisasi, komputerisasi, standarisasi, dan langkah-langkah terobosan lain yang mungkin dapat dilihat case by case.

Kedua, perlu peningkatan kualitas SDM yang melakukan pelayanan atau proses birokrasi. Dimulai dengan perubahan menjadi paradigma melayani, kinerja petugas harus ditingkatkan, baik secara manajerial maupun substansial. Untuk itu kita memang perlu memperhatikan kompetensi.

Ketiga, bagaimana pun baiknya system yang sudah kita set maka masih perlu langkah pengawasan dan pengendalian yang efektif. Upaya yang ke tiga ini harus dilakukan berdasarkan standar hasil dan kualitas kerja yang sudah disepakati dan ditetapkan sebelumnya, misalnya jumlah hari atau biaya untuk suatu perizinan. Langkah ini dapat dapat menghindarkan kelambatan dan kelambanan yang disengaja atau pun tidak disengaja yang sangat merugikan citra birokrasi itu.

Dengan demikian, secara keseluruhan kita akan dapat mencapai kinerja birokrasi yang lebih baik, cepat, dan bermarwah.

01 Maret 2009

Judgement

Judgement atau appresiasi (penilaian) pada seseorang atau sekelompok orang sangat sering dipengaruhi oleh penampilan luar atau fisik orangnya. Itu bisa benar tapi juga bisa salah; jika kesalahan itu terjadi dalam suatu lingkungan yang madani (civilized society), maka itu bisa memberi kesan yang sangat buruk atau sangat merugikan pada pelakunya. Karena itu ada pepatah dalam bahasa Inggris yang berbunyi: “Don’t judge a book from its cover”.

Ada suatu contoh kejadian demikian yang saya dapatkan dari salah satu mail yang saya sudah lupa asalnya dan tak dapat lagi ditelusuri. Terlepas dari benar tidaknya cerita itu dan persepsi kita pada civilized society, tapi kandungannya merupakan suatu pelajaran berharga. Mudah-mudahan kita dapat manfaat dari kutipan di bawah ini.

BAJU BAJU YANG MENIPU

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji. Sekretaris universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.
"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang wanita.
Selama empat jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.
Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini, bolehkah?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.""Oh, bukan," sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk.
Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan. Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.
Kita, seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap menipu.

Catatan:
1. Dikutip dari sebuah mail, maaf lupa dan takterlacak lagi sumbernya.
2. Benar tidaknya cerita ini demikian, patut jadi pelajaran bagi kita.

14 September 2008

M a d a

Kata mada belum penulis temukan dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Dalam bahasa Minang mada berarti bandel, keras kepala, atau keras hati. Dalam lingkungan anak gaul di Pekanbaru yang sebagian bahasa pasarannya bahasa Minang, kata itu juga berkonotasi nakal dan usil.

Karena itu ada yang mengklaim bahwa Gajah Mada berasal dari ranah Minang. Secara bergurau klaim itu diasosiasikan ke gambaran wajah patung batu Gajah Mada yang ada dalam buku-buku sejarah. Yang lebih serius adalah karena sepak terjang patih kerajaan Majapahit itu yang berani dan kuat dalam bertahan tanpa mengenal rasa takut pada ancaman yang hebat.

Sikap mada (Inggeris: stubborn) ini diasosiasikan pada rendahnya tingkat pendidikan sehingga ketidaktahuan menjadi penghalang untuk menerima pikiran orang lain. Tapi premis tadi ternyata juga hinggap pada orang yang tingkat pendidikannya lebih baik di Amerika sana.
Pantai negara bagian Texas dilanda badai Ike hari Sabtu 13 September 2008. Hembusan angin dengan kecepatan 110 mil per jam (sekitar 180 km/jam) menyapu pantai yang menimbulkan gelombang besar, membanjiri ribuan rumah, merubuhkan banyak rumah, memecahkan kaca-kaca gedung tinggi, dan mengakibatkan putusnya aliran listrik untuk sekitar tiga juta orang yang diperkirakan untuk tiga minggu ini. Sampai malamnya, belum dapat diketahui berapa banyak korban nyawa atau cedera serta kerusakan yang terjadi karena jalan-jalan terputus. Pihak otoritas mengkhawatirkan ini jadi semacam “slow motion disaster” karena banyaknya orang yang terjebak badai di rumah-rumah mereka.

Upaya penyelamatan baru bisa mengevakuasi 300 orang, hanya sejumput dari ribuan orang yang masih terlantar di rumah-rumah yang kena banjir. Diperkirakan ada 140.000 orang yang mengabaikan perintah mengungsi kepada sekitar sejuta penduduk sebelum Badai Ike datang. Orang-orang Amerika yang “mada” ini nekad bertahan dan baru menyadari kekeliruan mereka setelah badai datang. Anehnya, mereka menuntut otoritas untuk menyelamatkan mereka semalaman yang tentunya tidak mungkin. Seorang lelaki 65 tahun yang berhasil diselamatkan dari trailernya ketika air sudah se lutut berkata: “Saya menemukan banyak sekali ular di rumah saya, jika tidak saya akan tetap bertahan.” Padahal ia kehilangan hartanya kecuali obat-obat dan rokoknya!!
Sekarang petugas penyelamat sedang berjuang hebat untuk menyelamatkan ribuan orang. Gubernur Texas sampai menyebutkan ini sebagai upaya SAR terbesar sepanjang sejarah Texas. Para petugas SAR sangat gusar dan frustrasi karena demikian banyak orang yang mengabaikan peringatan dini mereka. Seorang pejabat menyatakan kegusarannya: “Jika anda mengabaikan suatu peringatan, tidak hanya membahayakan diri anda sendiri tapi juga menimbulkan resiko bagi mereka yang akan melakukan pertolongan. Sementara ini kerugian akibat Badai Ike ditaksir minimal US$8 miliar.
Nampaknya sesuailah gambaran lelaki Amerika yang satu tadi dan mungkin juga ribuan orang lainnya yang terjebak badai itu dengan makna serta konotasi mada dalam bahsa Minang itu. Apa yang menyebabkan hal ini tentu pastinya kita belum tahu. Mungkin ini justru karena merasa lebih pintar dan tahu tentang banyak hal atau hanya karena arogansi, sebagaimana juga dapat kita amati dalam sikap pribadi George W. Bush, presiden mereka. Wallahualam. (sumber Yahoo News 14 September 2008 dan foto-foto http://www.khou.%20com/perl/%20common/slideshow%20/sspop.pl?)

04 September 2008

The 76ers

Back to the year 1976, some “green horns” stepped along Ganesha Street, Bandung. They were amongst 1275 new students of Bandung Institute of Technology (ITB) from all over Indonesia, called as Generation of 76. Today, after more than three decades, what is the figure of the 76ers at their fifties?

The story of this group begins with an internally hereditary claim: The Best Youngsters of Indonesia. It derived from the success in entering the university which was the most favorable one nationwide. As a settled university in science and engineering, many of its alumni professionally succeed their careers; economical national development fundamentally needed so many scientists and engineers, as well. No wonder if one applicant had to set about fifteen others aside which was considered as the toughest competition to enter a university at that time.

At the first year, accommodated in four area of study i.e. Science, Industrial Technology, Civil Engineering and Planning, and Arts, the new students attended matriculation class for one semester. Next, they followed two semesters of common first year.

In accordance with wide range of highschool quality, their academic progress were also widely various. The crowds enthusiastically paced their efforts to get good grades which governed the acceptance to a department for next study. In contrary, there were some students still in euphoria and crazy about the claim so that rather than about study they care more about non-academic activities and ITB trivia’s. Social and economical problems also influenced the success of each 76er.

Their achievement started to differ at the second year. Many successfully continued to expected department, some had to redo the first level and compete again at the following year. Like other generations at that era, the 76ers finished their study between two extreme situations: excellently early and unfortunately had to leave the campus by various cases after a time limit. It is very sorry that few passed away.

By the time, many things happened. Most of 76ers have been succeeding their careers or profession and have been developing themselves through formal education or professional trainings. They outspread around the country and overseas and are playing important roles; might be as an academician, professor, professional engineer, bureaucrat, banker, business person, politician, etc. Hopefully there is no idler or just a regular housewife since every single student was indirectly subsidized by government.





In 2006, the 76ers celebrated three decades of the generation. It had been well prepared by many activists of the group at least one year before. Tirelessly, data of the members were collected door to door so that a networking was also developed. The members responded the celebration by attending its agenda with own family respectively.

We don’t know either efforts to strengthen professionalism or simply brotherhood and some nostalgic backgrounds have been driving the networking still effective until now. Anyway, more than 1000 out of 1275 members had already registered and it is also recorded that 49 or about 3.8 percents members had passed away.



In conclusion, firstly, at their fifties most 76ers have already played each own important roles and socially and economically settled. However, referring to the number of who had passed away, the members have to put their attention on health and their way of life. Family and religious issues should be included also in agenda of the group. Secondly, even tough there is still no proof on professional project, this group has been developing a good networking successfully. A result of efforts to materialize such kind of activity seems on the way to go. The group may show to the national society a very strong concept and professional implementation of any collaboration-based project. Good luck, The 76ers...!!!

02 September 2008

Mutasi Versus Pembusukan

Tanggal 25 Agustus lalu terjadi mutasi (plus penonaktifan) sejumlah besar pejabat Eselon II dan III di lingkungan pemerintah Provinsi Riau. Perubahan itu dilakukan dengan harapan untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Beberapa person yang dinilai posnya kurang tepat dipindahkan ke tempat yang dianggap lebih pas supaya kinerjanya lebih baik.

Sebagaimana lazimnya, mutasi kali ini juga menimbulkan beragam reaksi. Meskipun Pelaksana Tugas Sekda Provinsi menyebutkan bahwa di lingkungan PNS mutasi adalah suatu hal yang biasa, namun tanggapan dari berbagai pihak tetap beragam. Sebagian menegaskan bahwa itu adalah wajar dan hak pimpinan, sebagian lain pula melihat hal yang kurang efektif. Apatah lagi ada empat belas orang pejabat eselon II yang tidak mendapatkan pos sama sekali; diantaranya ada yang tidak tahu apa kesalahannya.

Keadaan ini tentu sangat sulit disikapi karena ada dua hal yang kontradiktip. Satu pihak pimpinan punya penilaian dan kewenangan untuk menentukan pembantunya, di lain pihak masing-masing para pejabat yang terkena tentu merupakan seorang PNS karir yang tidak dengan mudah dan sederhana sampai ke posisinya. Keadaan ini tentu perlu dicari jalan tengah yang se-objektif mungkin (Sayangnya bersikap objektif inilah yang sulit bagi kita para khalik yang dhaif ini....).

Kalau dengan pemahaman secara sederhana, seseorang itu terkena mutasi atau perubahan jabatan itu karena tiga hal: 1). mendapat promosi ke posisi yang lebih tinggi atau sama tapi dianggap lebih berbobot karena kinerjanya baik, berprestasi, atau track recordnya tidak ada yang cacat, 2). sebagai tour of duty atau tour of area untuk penyegaran atau memperkaya visi dan sikap kepemimpinannya, 3). sebagai mekanisme pemberian sanksi karena pimpinan menilai ada yang tidak pas, misalnya: kinerja, keahlian, pendidikan, pengalaman, loyalitas (tentunya dalam arti luas), indispliner atau melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima.

Apapun, yang jelas masalah yang terkait ke pengembangan potensi SDM ini memang harus ditangani dengan kehati-hatian. Di tengah perjuangan kita untuk memajukan masyarakat dan bangsa ini, SDM di lingkungan pemerintah memainkan peran yang sangat penting. Bila SDM yang ada tidak ditingkatkan atau tidak berperan serta bermanfaat secara maksimal tentu kita juga yang akan rugi secara kolektif. Mutasi sesuai tujuan mulianya tentu tidak perlu berhadap-hadapan dengan pembusukan kelembagaan instansi pemerintah. Agar tidak terjebak kepada subjektifitas, politik praktis misalnya, tentu para PNS harus memperhatikan rambu-rambu birokrasi secara proporsional dan profesional.

Karena pimpinan berada pada domain lain, bagi seorang PNS tentu hanya bisa dan perlu menjaga kepentingan yang ada dalam garis demarkasinya. Karena itu hendaknya senantiasa mempertimbangkan hal-hal berikut: 1). jabatan birokrasi PNS merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat dengan undang-undang melalui pimpinan, 2). seorang pejabat dituntut untuk menjalankan amanah itu sesuai ketentuan yang ada dengan unjuk kerja yang terbaik dan benar sesuai kemampuannya, 3). penilaian dilakukan oleh dan merupakan hak atasan, 4). berdoa agar atasan berlaku objektif. Dengan demikian, apapun yang terjadi diharapkan tidak terlalu banyak merugikan seorang pejabat PNS in person sehingga dampaknya tidak menimbulkan pembusukan kelembagaan akibat melemahnya "the man behind the gun".

Mudah-mudahan Allah memberikan kasih sayangnya pada kita semua.