Tampilkan postingan dengan label silaturrahim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label silaturrahim. Tampilkan semua postingan

13 Oktober 2008

The Backpackers: Silaturrahim ke Bengkalis (2)


Tampilan Masjid Istiqomah barangkali dapat menggambarkan kemakmuran Bengkalis. Jika dibandingkan, masjid ini tidak kurang bagus dan bersihnya dengan masjid yang ada di ibukota negara-negara bagian di Malaysia yang terkenal dengan masjid-masjidnya yang bagus dan megah. Interior, lighting, dan sound systemnya terasa hasil rekayasa yang tuntas. Karpetnya, dari corak dan ukuran hamparannya kemungkinan produk taylor-made. Ketika keluar, tak terdengar ada sepatu atau sandal yang hilang meskipun tidak dititipkan.

Sehabis Jumatan the Backpackers (the B) segera mengisi perut yang sudah keroncongan kena getar riak air sungai dan selat di boat. Karena masih libur, kami cuma dapat jumpai satu rumah makan Padang yang agak besar, satu-satunya yang buka. Kemudian setelah makan, ditemani pak Joni dan rekan-rekan dari Dinas Perhubungan kami sempat meninjau ke pelabuhan feri roro penyeberangan Bengkalis-daratan Sumatera.

Sungguh luar biasa, dalam musim lebaran itu banyak sekali mobil dan motor yang keluar masuk Bengkalis, sampai juga mengherankan rekan-rekan itu. Jika biasanya feri menyeberang 5-6 kali pergi-pulang tiap hari, dalam masa angkutan lebaran sampai 18 trip. Dari jenis dan nomor platnya, diketahui bahwa mobil-mobil itu banyak yang datang dari jauh. Apakah itu menandakan banyak orang Bengkalis yang maju di luar atau sudah menjadi destinasi kunjungan liburan, cukup sulit menjawabnya.



Jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, wajah Bengkalis memang berubah banyak. Jalan-jalan lebar dan rapi serta lingkungan kota dan perumahan bersih yang menghapus kesan Bengkalis jaman dulu. Gedung-gedung juga banyak yang megah, sejak dari pelabuhan, kantor-kantor, sekolah, balai adat Melayu sampai rumah kediaman bupati yang aduhai.

Pada penggal sore kami pergi ke pantai Selat Baru di bagian Utara pulau Bengkalis yang berhadapan langsung dengan Malaka. Pantainya berpasir halus bercampur lumpur karena terendam ketika pasang; ketika surut pantai itu bisa ditempuh pejalan kaki sampai 1 kilometer dari tebing daratan. Sebuah pelabuhan penumpang untuk ke Malaka di muara Sungai Liong di daerah itu sampai hari ini belum dapat dioperasikan karena masalah kedangkalan ini.

Pihak terkait sudah melakukan kajian secara teknis dan memberikan saran atau solusi terhadap masalah ini. Namun yang agak berbeda cara pandangnya adalah bahwa secara normatif internasional, apalagi sebuah pelabuhan laut antar negara, haruslah bisa beroperasi 24 jam sementara di Selat Baru mungkin hanya ketika pasang. Hal ini secara praktis sebenarnya tidak masalah karena bila hanya sebatas untuk kepentingan semula dari pembangunan pelabuhan ini, memang hanya akan beroperasi beberapa kali pelayaran yang dapat disesuaikan dengan pasang surut sebagaimana juga yang dilakukan di pelabuhan feri penumpang di Malaka.

Kearifan lokal inilah yang sudah dilakukan oleh para pelalut dan pelintas batas di pesisir Riau sejak dahulu. Sebagaimana juga terlihat banyak perahu nelayan yang berlindung di Sungai Liong, mereka keluar ketika air pasang, yang ketika musim Utara menerjang tebing pantai sehingga Selat Baru terancam abrasi. Tentang abrasi ini, dengan kajian teknis dan hati-hati, salah satu alternatif pengamanannya mungkin bisa dengan membuat breakwater finger dari bongkahgan batu yang posisinya bukan sejajar tapi tegak terhadap bibir pantai. Dengan demikian endapan pasir akan bertambah dan bakau dapat tumbuh lebih rimbun sehingga Selat Baru jadi lebih indah dan asri.



Sayang jalan ke Selat Baru yang memang di daerah gambut itu sempit dan kurang terawat. Kondisi alam yang berat dan tidak punya sumber bahan konstruksi menyebabkan biaya bangunan, termasuk jalan, sangat mahal. Lahan di sepanjang jalan kelihatan juga belum bermanfaat secara maksimal dan kehidupan masyarakat sepanjang jalan biasa-biasa saja. Ada usaha masyarakat secara kecil-kecilan dan kurang optimal untuk perkebunan sawit, karet, pinang, dan nanas.

Selain Festival Lampu Colok yang meriah, ada beberapa produk andalan Bengkalis yang kami tidak sempat lihat langsung ke tempat produksinya. Pertama, kain tenun (songket) Bengkalis adalah salah satu yang terkenal di Riau. Ini memang merupakan karya para seniman dan pengrajin tenun yang sudah dibawa kemana-mana, bahkan ke negeri-negeri Melayu jiran. Yang kedua, anda mungkin pernah dengar oleh-oleh Riau yang namanya lempok durian. Bengkalis adalah penghasil lempok yang utama karena disana memang banyak pohon durian dan bungkusnya yang khas dari upih pelepah pohon pinang.. Bagi yang maniak dengan durian, bisa mencoba lempok Bengkalis yang juga sudah ada di gerai oleh-oleh di Pekanbaru dan bandara Soekarno-Hatta.



Malamnya kami bersilaturrahim ke keluarga Puput. Kami telah ditunggu untuk makan malam yang dihadiri secara lengkap oleh kakek, nenek, orangtua, om, tante, dan sepupu Puput. Dengan hangat dan penuh keramah-tamahan layaknya saudara yang sudah lama tidak ketemu, kami berbincang-bincang seputar masalah keluarga.



Malam itu the B berkesempatan mencicipi lempok dan bakar ikan terubuk yang terkenal dan merupakan kebanggan Bengkalis (mirip bandeng, sayang hidangannya tidak sempat difoto karena malu sama tuan rumah he..he..he.. foto yang mentah ini dari internet). Populasi ikan ini sudah berkurang karena overfishing dan ada juga informasi bahwa ikan ini banyak migrasi ke perairan Bangladesh (kenapa bisa gitu ya?) yang disana disebut juga dengan nama terubuk. Terubuk kembali menunggu kami sarapan di rumah pak Joni besok paginya sebelum kembali naik boat perusahaan yang sama ke Pekanbaru dengan rasa puas (Thanks for your hospitality, Pak Joni).

Melihat kemampuan dan potensinya yang luar biasa ini, rasanya Bengkalis tidak akan sulit mensejahterakan rakyat dan negerinya. Meskipun saya belum banyak melihat dan tahu daerah-daerah kabupaten ini di luar Pulau Bengkalis, mudah-mudahan infrastruktur dan falisitas umum masyarakat juga sudah terbangun, paling tidak telah tersedia secara bertahap. Yang tak kalah penting adalah bagaimana basis ekonomi masyarakat telah diperkuat sesuai potensi aktual masing-masing pihak dan daerah pada saat masih ada anggaran yang memadai sekarang ini. Dengan demikian Bengkalis secara utuh senantiasa tegar dan dapat bertahan dalam gejolak ekonomi global sebagaimana yang terjadi hari ini. Jika pun the B tidak sempat datang lagi, akan ikut bahagia mendengar keberhasilan Bengkalis kelak. Insya Allah.
(Foto gedung, tenun, dan ikan terubuk dari berbagai sumber yang publikasikan Google)

12 Oktober 2008

The Backpackers: Silaturrahim ke Bengkalis (1)


Libur panjang lebaran kemaren, enam orang tim The Backpackers (the B) yang terdiri dari Ashri, Dani, Affan, Dinda, bersama Mama mereka, dan saya, memanfaatkan kesempatan untuk "mudik" ke Triple B: kota Bengkalis di Pulau Bengkalis, Kabupaten Bengkalis. Menyebut diri demikian karena seluruh anggota tim dapat dikatakan cukup terlatih karena sejak dulu jika dimungkinkan sudah membiasakan diri berpergian dengan membawa backpack masing-masing tanpa campur tangan travel agent. Kenapa kok ke kota Bengkalis yang meskipun ibukota kabupaten tapi sebenarnya untuk Riau saja bukan jadi destinasi wisata?

Sebagai warga dan orang yang berkiprah di Riau, saya tentu pernah juga beberapa kali ke Bengkalis, demikian pula si Mama. Tapi tidak demikian dengan anak-anak; karena berbagai sebab masih banyak daerah pedalaman Riau yang belum pernah mereka lihat, diantaranya Bengkalis yang disebut juga Negeri Junjungan dimana dlam sejarahnya terkenal Laksmana Raja Di Laut seperti dalam lagu zapin itu. Lagi pula, Bengkalis adalah kampung Puput (dalam gambar yang di kanan) sohibnya Dinda di sekolah dan untuk kesana pun cukup mudah dan nyaman sehingga layak untuk the B.

Kabupaten Bengkalis terletak di pesisir Timur Provinsi Riau yang sebagian wilayahnya merupakan daratan Sumatera dan lainnya berupa-pulau endapan bertanah lunak atau gambut. Kabupaten ini menghasilkan sebagian besar minyak bumi Riau, disamping kaya akan hasil bumi seperti kelapa sawit, karet, kelapa, sagu, kayu, dan sebagainya. Dari kekayaan alam itu Bengkalis jadi kabupaten terkaya di Riau dan urutan kedua di Indonesia setelah Kabupaten Kutai Kertanegara. APBDnya dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar tiga perempat APBD Provinsi Riau yang hanya sekitar Rp 4,3 triliun.

Tidak heran kalau Bengkalis bisa membangun berbagai kepentingan daerahnya dengan agak leluasa. Bengkalis yang dulunya kota yang sangat kecil untuk ukuran di Pulau Jawa, sekarang menjelma menjadi kota yang bagus, bersih, menunjukkan kemajuan yang signifikan meskipun berada di sebuah pulau yang tanahnya lunak dan tidak punya sumber material konstruksi. Untuk melihat kemajuan inilah yang juga mendorong the B mengepak perlengkapan masing-masing.

Perjalanan ke sana kami pilih dengan speedboat mengikuti flow awam serta tanpa menunjukkan seragam donker abu-abu korps perhubungan saya. Turun dari pelabuhan penumpang Sungai Duku, Pekanbaru, speedboat kapasitas 50 orang yang bagus dan bersih itu menghiliri Sungai Siak sekitar 2,5 jam; melewati Perawang (lokasi salah satu pabrik pulp & paper terbesar di dunia), Buatan (dulu pelabuhan minyak Stanvac), Siak Sri Indrapura (bekas kerajaan Siak dengan raja terakhir adalah pahlawan Sultan Syarif Kasim II yang dengan sukarela tidak melanjutkan pemerintahan ketika kemerdekaan dan bergabung dengan NKRI), Sungai Apit (permukiman terakhir di hilir sungai), dan Sungai Pakning (lokasi kilang Pertamina dan feri roro untuk menyeberang ke Pulau Bengkalis). Dari Sungai Pakning yang sudah di luar muara sungai menyeberang selat sekitar 30 menit. Meskipun kami dapat seat di bagian depan, dengan cuaca yang tenang pagi itu perjalanan sangat nyaman dan lancar.

Tentang tempat duduk di boat ini memang harus jadi perhatian, terutama jika bepergian dengan yang pencemas, balita, atau yang tidak bisa berenang. Karena ingin menghormati the B, mamanya Puput yang sudah sangat akrab dengan orang loket pelabuhan, mereservasikan tiket dengan tempat duduk di depan. Padahal untuk speedboat, apalagi yang akan menyeberangi laut dengan gelombang yang agak besar, sebaiknya duduk di bagian belakang supaya goncangannya lebih kecil. Alhamdulillah, sebagai orang awam tanpa fasilitas khusus kami semua mendarat di Bengkalis dengan aman dan sesuai skedul langsung ke hotel yang sudah kami pesan sebelumnya.

Hotel di Bengkalis hanya ada dua yang memadai, sesuai dengan ukuran kota kecil di kabupaten. Ketika masuk kamar, anak-anak saya seperti biasa langsung melakukan inspeksi ke kamar mandi. Karena memang kelihatan kurang terawat dan ada bau kecoak, hampir serentak anggota the B ini menanyakan apa ada hotel atau kamar yang lain. Setelah tahu kamar lain juga kurang lebih sama dan hotel lain lebih jelek maka komplen berubah jadi rasa syukur. Sementara si gadis kecil dan mamanya istirahat di hotel, para jawara the B pun keluar lagi untuk pergi jumatan di Masjid Istiqomah (Peta dan Foto Pelabuhan Sri Laksamana dari internet).