Tampilkan postingan dengan label khas Riau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label khas Riau. Tampilkan semua postingan

15 Oktober 2008

Ikan: Kuliner Sehat

Ikan laut yang siap dibakar, lagi trend jualnya dipajang dalam wadah sampan

Orang Melayu gemar makan ikan air tawar atau laut serta hasil laut lainnya seperti udang, cumi, kepiting, siput, kerang, dan sejenisnya. Banyak kearifan lokal untuk memasak atau mengolah ikan yang sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun seperti disalai, diasinkan, atau difermentasi seperti apa yang disebut dengan pekasam, cencaluk, otak-otak, dan belacan (terasi).



Memasak ikan juga berbagai cara yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: bakar, rebus/steam/gulai, dan goreng atau kombinasinya. Sesuai dengan media tambahan dalam proses masaknya, kuliner ikan yang sangat beraneka ini tentu juga memiliki tingkat pengaruh yang berbeda untuk kesehatan. Berikut ini disajikan berbagai masakan ikan laut atau air tawar yang sering dijumpai di Riau sesuai dengan kategori tersebut.

Orang Melayu sangat gemar makan ikan atau hasil air atau laut lainnya seperti udang, cumi, kepiting, siput, kerang, dan sejenisnya. Banyak kearifan lokal untuk memasak atau mengolah ikan yang sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun seperti disalai, diasinkan, atau difermentasi seperti apa yang disebut dengan pekasam, cencaluk, otak-otak, dan belacan (terasi).

Memasak ikan juga berbagai cara yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: bakar, rebus/steam/gulai, dan goreng atau kombinasinya. Sesuai dengan media tambahan dalam proses masaknya, kuliner ikan yang sangat beraneka ini tentu juga memiliki tingkat pengaruh yang berbeda untuk kesehatan. Berikut ini disajikan berbagai masakan ikan laut atau air tawar yang sering dijumpai di Riau sesuai dengan kategori tersebut .
Cara masaknya? Mohon maaf, saya hanya pandai makannya aja….. Selamat menikmati gambarnya (sebagaian foto dari hasil browsing Google).
Dibakar:


Rebus/Steam/Sup/Gulai:




Goreng:

13 Oktober 2008

The Backpackers: Silaturrahim ke Bengkalis (2)


Tampilan Masjid Istiqomah barangkali dapat menggambarkan kemakmuran Bengkalis. Jika dibandingkan, masjid ini tidak kurang bagus dan bersihnya dengan masjid yang ada di ibukota negara-negara bagian di Malaysia yang terkenal dengan masjid-masjidnya yang bagus dan megah. Interior, lighting, dan sound systemnya terasa hasil rekayasa yang tuntas. Karpetnya, dari corak dan ukuran hamparannya kemungkinan produk taylor-made. Ketika keluar, tak terdengar ada sepatu atau sandal yang hilang meskipun tidak dititipkan.

Sehabis Jumatan the Backpackers (the B) segera mengisi perut yang sudah keroncongan kena getar riak air sungai dan selat di boat. Karena masih libur, kami cuma dapat jumpai satu rumah makan Padang yang agak besar, satu-satunya yang buka. Kemudian setelah makan, ditemani pak Joni dan rekan-rekan dari Dinas Perhubungan kami sempat meninjau ke pelabuhan feri roro penyeberangan Bengkalis-daratan Sumatera.

Sungguh luar biasa, dalam musim lebaran itu banyak sekali mobil dan motor yang keluar masuk Bengkalis, sampai juga mengherankan rekan-rekan itu. Jika biasanya feri menyeberang 5-6 kali pergi-pulang tiap hari, dalam masa angkutan lebaran sampai 18 trip. Dari jenis dan nomor platnya, diketahui bahwa mobil-mobil itu banyak yang datang dari jauh. Apakah itu menandakan banyak orang Bengkalis yang maju di luar atau sudah menjadi destinasi kunjungan liburan, cukup sulit menjawabnya.



Jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, wajah Bengkalis memang berubah banyak. Jalan-jalan lebar dan rapi serta lingkungan kota dan perumahan bersih yang menghapus kesan Bengkalis jaman dulu. Gedung-gedung juga banyak yang megah, sejak dari pelabuhan, kantor-kantor, sekolah, balai adat Melayu sampai rumah kediaman bupati yang aduhai.

Pada penggal sore kami pergi ke pantai Selat Baru di bagian Utara pulau Bengkalis yang berhadapan langsung dengan Malaka. Pantainya berpasir halus bercampur lumpur karena terendam ketika pasang; ketika surut pantai itu bisa ditempuh pejalan kaki sampai 1 kilometer dari tebing daratan. Sebuah pelabuhan penumpang untuk ke Malaka di muara Sungai Liong di daerah itu sampai hari ini belum dapat dioperasikan karena masalah kedangkalan ini.

Pihak terkait sudah melakukan kajian secara teknis dan memberikan saran atau solusi terhadap masalah ini. Namun yang agak berbeda cara pandangnya adalah bahwa secara normatif internasional, apalagi sebuah pelabuhan laut antar negara, haruslah bisa beroperasi 24 jam sementara di Selat Baru mungkin hanya ketika pasang. Hal ini secara praktis sebenarnya tidak masalah karena bila hanya sebatas untuk kepentingan semula dari pembangunan pelabuhan ini, memang hanya akan beroperasi beberapa kali pelayaran yang dapat disesuaikan dengan pasang surut sebagaimana juga yang dilakukan di pelabuhan feri penumpang di Malaka.

Kearifan lokal inilah yang sudah dilakukan oleh para pelalut dan pelintas batas di pesisir Riau sejak dahulu. Sebagaimana juga terlihat banyak perahu nelayan yang berlindung di Sungai Liong, mereka keluar ketika air pasang, yang ketika musim Utara menerjang tebing pantai sehingga Selat Baru terancam abrasi. Tentang abrasi ini, dengan kajian teknis dan hati-hati, salah satu alternatif pengamanannya mungkin bisa dengan membuat breakwater finger dari bongkahgan batu yang posisinya bukan sejajar tapi tegak terhadap bibir pantai. Dengan demikian endapan pasir akan bertambah dan bakau dapat tumbuh lebih rimbun sehingga Selat Baru jadi lebih indah dan asri.



Sayang jalan ke Selat Baru yang memang di daerah gambut itu sempit dan kurang terawat. Kondisi alam yang berat dan tidak punya sumber bahan konstruksi menyebabkan biaya bangunan, termasuk jalan, sangat mahal. Lahan di sepanjang jalan kelihatan juga belum bermanfaat secara maksimal dan kehidupan masyarakat sepanjang jalan biasa-biasa saja. Ada usaha masyarakat secara kecil-kecilan dan kurang optimal untuk perkebunan sawit, karet, pinang, dan nanas.

Selain Festival Lampu Colok yang meriah, ada beberapa produk andalan Bengkalis yang kami tidak sempat lihat langsung ke tempat produksinya. Pertama, kain tenun (songket) Bengkalis adalah salah satu yang terkenal di Riau. Ini memang merupakan karya para seniman dan pengrajin tenun yang sudah dibawa kemana-mana, bahkan ke negeri-negeri Melayu jiran. Yang kedua, anda mungkin pernah dengar oleh-oleh Riau yang namanya lempok durian. Bengkalis adalah penghasil lempok yang utama karena disana memang banyak pohon durian dan bungkusnya yang khas dari upih pelepah pohon pinang.. Bagi yang maniak dengan durian, bisa mencoba lempok Bengkalis yang juga sudah ada di gerai oleh-oleh di Pekanbaru dan bandara Soekarno-Hatta.



Malamnya kami bersilaturrahim ke keluarga Puput. Kami telah ditunggu untuk makan malam yang dihadiri secara lengkap oleh kakek, nenek, orangtua, om, tante, dan sepupu Puput. Dengan hangat dan penuh keramah-tamahan layaknya saudara yang sudah lama tidak ketemu, kami berbincang-bincang seputar masalah keluarga.



Malam itu the B berkesempatan mencicipi lempok dan bakar ikan terubuk yang terkenal dan merupakan kebanggan Bengkalis (mirip bandeng, sayang hidangannya tidak sempat difoto karena malu sama tuan rumah he..he..he.. foto yang mentah ini dari internet). Populasi ikan ini sudah berkurang karena overfishing dan ada juga informasi bahwa ikan ini banyak migrasi ke perairan Bangladesh (kenapa bisa gitu ya?) yang disana disebut juga dengan nama terubuk. Terubuk kembali menunggu kami sarapan di rumah pak Joni besok paginya sebelum kembali naik boat perusahaan yang sama ke Pekanbaru dengan rasa puas (Thanks for your hospitality, Pak Joni).

Melihat kemampuan dan potensinya yang luar biasa ini, rasanya Bengkalis tidak akan sulit mensejahterakan rakyat dan negerinya. Meskipun saya belum banyak melihat dan tahu daerah-daerah kabupaten ini di luar Pulau Bengkalis, mudah-mudahan infrastruktur dan falisitas umum masyarakat juga sudah terbangun, paling tidak telah tersedia secara bertahap. Yang tak kalah penting adalah bagaimana basis ekonomi masyarakat telah diperkuat sesuai potensi aktual masing-masing pihak dan daerah pada saat masih ada anggaran yang memadai sekarang ini. Dengan demikian Bengkalis secara utuh senantiasa tegar dan dapat bertahan dalam gejolak ekonomi global sebagaimana yang terjadi hari ini. Jika pun the B tidak sempat datang lagi, akan ikut bahagia mendengar keberhasilan Bengkalis kelak. Insya Allah.
(Foto gedung, tenun, dan ikan terubuk dari berbagai sumber yang publikasikan Google)

04 Oktober 2008

Khas Riau: Bolu Kemojo












Bolu Kemojo adalah panganan khas Melayu dari Riau. Kue ini sering disajikan pada hajatan, buka puasa, atau perayaan-perayaan hari besar seperti lebaran. Pada umumnya kue ini berwarna hijau coklat; Ramadhan kemaren saya menemukan yang warnanya hijau lebih terang.

Sekarang kue ini banyak dijual di toko-toko makanan atau oleh-oleh. Bagi yang ingin coba membuatnya, saya dapatkan resepnya dari afrilya.blogspot.com (thanks V), sebagai berikut:

Bahan-bahan:
Telur ayam 6 butir
Santan 3 gelas ditambah air pandan
Margarin 250 gram
Tepung segitiga 300 gram
Gula 250 gram
aram 1/2 sendok teh
Vanili secukupnya

Cara membuat:

1. Telur dan gula diaduk;
2. Masukan santan, tepung, dan margarin cair, aduk sampai rata;
3. Panaskan cetakan;
4. Tuangkan adonan kedalam cetakan dan dioven selama 45 menit pada suhu 175 derajat Celcius, dengan panas yang merata di atas dan bawah.

Selamat mencoba.

22 September 2008

Sagu Khas Riau: Sempolet dan Kepurun
















Minggu lalu saya mengikuti acara Safari Ramadhan ke Selatpanjang, sebuah kota kecamatan di Pulau Tebing Tinggi yang terletak di pesisir Provinsi Riau. Pulau Tebing Tinggi dan pulau-pulau di sekitarnya ini adalah dataran rendah yang tanahnya berupa levee endapan lumpur (marine clay) atau rawa gambut yang banyak ditumbuhi rumbia. Selat Panjang dan sekitarnya adalah penghasil sagu sejak dahulu; luas tanaman sagu di Kabupaten Bengkalis 44.000 Ha lebih dengan produksi 179.000 ton lebih per tahun.

Ketika zaman sulit dulu dan beras langka, penduduk pesisir mengandalkan sagu sebagai makanan pokok. Banyak terdapat jenis-jenis makanan tradisional berbahan baku sagu yang merupakan kreatifitas dan kearifan lokal orang Melayu. Meskipun beras sudah lama pula jadi makanan pokok, tapi makanan asal sagu tentu punya tempat khusus di hati orang-orang Selatpanjang.
Safari Ramadhan itu diikuti pula oleh beberapa rekan asal Selatpanjang yang sudah "jadi orang". Untuk mengenang masa lalu, tidak heran jika tersaji pula makanan-makanan dan kue-mueh tradisonal tempatan seperti apam, serabi, dan bolu kemojo. Kemudian ada dua jenis makanan yang menggunakan bahan sagu yang menarik perhatian saya karena baru tahu dan punya sedikit kaitan cerita kultural.



Pertama, SEMPOLET (gambar pertama) yaitu semacam cream soup dari sagu yang didalamnya dimasukkan pucuk (gelungan) pakis hutan yang memang banyak di rawa gambut, ebi, dan daging lokan (sejenis kerang).
Makanan klasik yang baru saya ketahui karena sudah jarang disajikan ini, dari nutrisi dan bentuk serta rasanya menunjukkan kearifan lokal yang tinggi. Tidak saya sangka bahwa puluhan, mungkin ratusan, tahun yang lalu orang Melayu sudah kenal Cream Soup; sebuah karya kuliner bagus yang menggunakan bahan lokal secara optimal. Kalau ketika itu Bondan ikut, saya yakin dia akan memberikan appresiasi yang istimewa. Rasanya...hmmmmmm.....

Kedua, KEPURUN yakni bubur biasa saja dari tepung sagu yang mirip dengan ongol-ongol atau lebih tepatnya seperti lem untuk kertas yang kita buat dari kanji atau tapioka yang dipanaskan dengan air (gambar kedua, sayang mangkoknya saat sudah hampir kosong). Kaperun adalah main course sebagai substitusi nasi karena di daerah pesisir Riau dulu beras cukup sulit didapat, yang dimakan dengan asam pedas ikan laut seperti lome, senangin, selar, atau kakap.

Makanan ini memang sedap rasanya dan dapat mengganjal perut tapi yang namanya bubur dan dari sagu yang tidak begitu banyak nutrisinya pula, tentu tidak bertahan lama seperti nasi. Jika makan kepurun, dalam waktu tidak lama sudah terasa lapar kembali.

Ketika zaman berubah dan nasi jadi lazim, di kampung saya kepurun jadi istilah yang berkonotasi "tak kebagian nasi dan akan menderita kelaparan". Ketika di Selatpanjang itulah saya jadi mengerti kenapa orang di kampung saya sering memakai istilah itu. Misalnya seseorang yang datang terlambat ke suatu pesta sehingga tidak kebagian makanan maka orang akan mengatakan: "Nah... kepurun engkau...!". Orang itu dalam hati mungkin akan berbisik: "Alah mak... kepurun aku malam ni......"