27 November 2008

HAMKA: Sang Legenda yang Otodidak

HAMKA adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh legendaris yang mengisi hidupnya dengan penuh makna sebagai ulama, sasterawan, dan politikus. Beliau yang sering dipanggil dengan Buya yang berarti ayah atau orang yang dihormati ini lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Lahir dari keluarga guru dan ulama di desa yang indah di pinggir Danau Maninjau, Hamka mulai mengembangkan dirinya di surau, masjid, dan sekolah agama sampai menjadi seorang muda mandiri yang kemudian menjadi sosok yang besar.
Kiprahnya dimulai dari dunia pendidikan. Setelah mendalami agama dan mempelajari Bahasa Arab di Sumatera Thawalib, sekolah agama yang didirikan ayahnya di Padang Panjang, ketika baru berusia 19 tahun Hamka menjadi guru agama di Tebing Tinggi, Sumut; dua tahun kemudian dia mengajar di Padang Panjang. Kemampuannya yang didapat secara otodidak membawa Hamka menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta, dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang, tahun 1957-1958. Kemudian Hamka menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, dan Profesor di Universitas Mustopo, Jakarta.
Dengan kemampuan bahasa Arabnya Hamka mendalami filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, Hussain Haikal, serta pemikiran para scholar Barat seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti dilalapnya dengan tekun. Hamka juga senang berdiskusi dengan HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo yang menjadikannya pandai dalam banyak hal dan seorang orator handal.

Sesuai dengan keinginannya untuk memerangi khurafat, bid’ah, dan kebatinan sesat yang masih membelenggu umat, rekam jejak Hamka dalam pergerakan Islam sangat kuat di organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti perkembangan Muhammadiyah sejak tahun 1925 dan tiga tahun kemudian menjadi ketua cabang di Padang Panjang. Tahun 1929 Hamka membentuk pusat latihan pendakwah Muhammadiyah sebelum dijadikan konsul Muhammadiyah di Makassar tahun 1931. Berbagai aktifitas ini mengantarkan Hamka menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat tahun 1946 dan sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah tahun 1953. Selain aktif berdakwah di dalam negeri, beliau juga aktif dalam berbagai forum ulama internasional.

Hamka juga sempat berkiprah di lingkungan pemerintahan tapi tidak bertahan lama karena lebih tertarik dengan pergerakan dan politik. Pada tahun 1951 Menteri Agama menunjuk Hamka jadi Pegawai Tinggi Agama namun jabatan itu ditinggalkannya ketika Presiden Soekarno meminta Hamka memilih sebagai PNS atau aktifis politik di Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Keterlibatan Hamka dalam politik sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1925 sebagai anggota Sarekat Islam. Pada zaman pra-kemerdekaan, beliau berjuang secara oral dan perang gerilya dalam hutan di Sumut agar Belanda tidak menjajah Indonesia kembali.

Pasca kemerdekaan Hamka makin merasakan asam garam politik. Tahun 1947 Hamka terpilih menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia dan anggota Konstituante Masyumi yang bertugas sebagai orator utama dalam Pilihan Raya Umum 1955 sampai kemudian pemerintah Indonesia mengharamkan partai itu pada tahun 1960. Dengan tuduhan pro Malaysia, Presiden Soekarno memenjarakan Hamka dari tahun 1964 hingga tahun 1966. Justru bagi Hamka “Penjara bukan sekedar tempat tahanan tetapi adalah Universitas kedua” yang dibuktikannya ketika dalam penjara itu beliau berhasil menulis Tafsir Al-Azhar yang merupakan karya terbesarnya; satu-satunya Tafsir Al-Qur’an tulisan seorang ulama Melayu yang gaya bahasanya mudah dicerna, sekali gus membuktikan kualitas intelektual Hamka sebagai seorang ulama besar nusantara.
Memang, selain seorang aktivis keagamaan dan politikus, Hamka adalah seorang penulis, wartawan, editor, dan penerbit yang sangat luar biasa. Selama hidupnya, Hamka melahirkan tidak kurang dari 79 karya tulis yang dimulainya sejak masih berusia dua puluh tahunan. Dari jumlah judul tulisannya, Hamka sangat produktif menulis ketika berumur 30 sampai 58 tahun. Puncaknya adalah pada tahun 1950 ketika beliau bisa menerbitkan 11 judul karya tulis.

Berbagai karya ilmiah Islam serta novel dan cerpen yang dihasilkannya mendapat perhatian yang luas ketika itu. Bahkan beberapa novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah, dan Merantau ke Deli, selain mendapat sambutan di nusantara, juga menjadi buku teks kesusasteraan di Malaysia dan Singapura (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar