22 September 2008

Sagu Khas Riau: Sempolet dan Kepurun
















Minggu lalu saya mengikuti acara Safari Ramadhan ke Selatpanjang, sebuah kota kecamatan di Pulau Tebing Tinggi yang terletak di pesisir Provinsi Riau. Pulau Tebing Tinggi dan pulau-pulau di sekitarnya ini adalah dataran rendah yang tanahnya berupa levee endapan lumpur (marine clay) atau rawa gambut yang banyak ditumbuhi rumbia. Selat Panjang dan sekitarnya adalah penghasil sagu sejak dahulu; luas tanaman sagu di Kabupaten Bengkalis 44.000 Ha lebih dengan produksi 179.000 ton lebih per tahun.

Ketika zaman sulit dulu dan beras langka, penduduk pesisir mengandalkan sagu sebagai makanan pokok. Banyak terdapat jenis-jenis makanan tradisional berbahan baku sagu yang merupakan kreatifitas dan kearifan lokal orang Melayu. Meskipun beras sudah lama pula jadi makanan pokok, tapi makanan asal sagu tentu punya tempat khusus di hati orang-orang Selatpanjang.
Safari Ramadhan itu diikuti pula oleh beberapa rekan asal Selatpanjang yang sudah "jadi orang". Untuk mengenang masa lalu, tidak heran jika tersaji pula makanan-makanan dan kue-mueh tradisonal tempatan seperti apam, serabi, dan bolu kemojo. Kemudian ada dua jenis makanan yang menggunakan bahan sagu yang menarik perhatian saya karena baru tahu dan punya sedikit kaitan cerita kultural.



Pertama, SEMPOLET (gambar pertama) yaitu semacam cream soup dari sagu yang didalamnya dimasukkan pucuk (gelungan) pakis hutan yang memang banyak di rawa gambut, ebi, dan daging lokan (sejenis kerang).
Makanan klasik yang baru saya ketahui karena sudah jarang disajikan ini, dari nutrisi dan bentuk serta rasanya menunjukkan kearifan lokal yang tinggi. Tidak saya sangka bahwa puluhan, mungkin ratusan, tahun yang lalu orang Melayu sudah kenal Cream Soup; sebuah karya kuliner bagus yang menggunakan bahan lokal secara optimal. Kalau ketika itu Bondan ikut, saya yakin dia akan memberikan appresiasi yang istimewa. Rasanya...hmmmmmm.....

Kedua, KEPURUN yakni bubur biasa saja dari tepung sagu yang mirip dengan ongol-ongol atau lebih tepatnya seperti lem untuk kertas yang kita buat dari kanji atau tapioka yang dipanaskan dengan air (gambar kedua, sayang mangkoknya saat sudah hampir kosong). Kaperun adalah main course sebagai substitusi nasi karena di daerah pesisir Riau dulu beras cukup sulit didapat, yang dimakan dengan asam pedas ikan laut seperti lome, senangin, selar, atau kakap.

Makanan ini memang sedap rasanya dan dapat mengganjal perut tapi yang namanya bubur dan dari sagu yang tidak begitu banyak nutrisinya pula, tentu tidak bertahan lama seperti nasi. Jika makan kepurun, dalam waktu tidak lama sudah terasa lapar kembali.

Ketika zaman berubah dan nasi jadi lazim, di kampung saya kepurun jadi istilah yang berkonotasi "tak kebagian nasi dan akan menderita kelaparan". Ketika di Selatpanjang itulah saya jadi mengerti kenapa orang di kampung saya sering memakai istilah itu. Misalnya seseorang yang datang terlambat ke suatu pesta sehingga tidak kebagian makanan maka orang akan mengatakan: "Nah... kepurun engkau...!". Orang itu dalam hati mungkin akan berbisik: "Alah mak... kepurun aku malam ni......"

1 komentar:

  1. mksh:)
    info nya sangat berguna pak..
    saya slh seorng mhsiswa UNRI yg sbntar lg akan brngkat KKN ke Kec.Tebing tinggi desa Insit.
    semoga informasi ini dapat mnjadi sdikit referensi bagi kami sebelum tiba di Meranti nanti nya.

    BalasHapus