05 Oktober 2008

3G

Meminjam istilah telepon sellular, dalam keluarga pun kita mengenal istilah 3G (three G). Kalau untuk telepon berkenaan dengan teknologinya, dalam keluarga dibaca sebagai tiga generasi. Sebagian mungkin ada yang sempat mencapai 4G, tapi pada umumnya kita jadi bagian dari Orangtua-Anak-Cucu.

Alhamdulillah, anak-anak saya masih mempunyai dua pasang kakek dan nenek. Dari garis ayah di Pekanbaru dan dari garis ibu di Bandung. Bahkan dari garis ibu, anak-anak saya sempat mengenyam empat generasi sebelum kakek buyut mereka pulang ke Rahmatullah beberapa tahun lalu. Sang buyut lah yang melengkapi dengan Abdul Ghaffur pada nama anak saya yang ke tiga Affan yang terlihat dalam foto (kiri).

Foto yang sengaja dibuat awal Syawal ini adalah 3G dari Pekanbaru: ayah saya, saya, dan Affan. Dengan kasih sayang Allah, ayah saya sudah berusia 87 tahun., yang tertua dari keempat kakek/nenek anak-anak saya. Menurut kolega orangtua saya, kami bertiga memiliki raut muka yang paling mendekati atau dengan kata lain yang lebih muda menduplikasi yang lebih tua.

Sebagai bagian tengah dari 3G, saya merasa mendapat kesempatan yang sangat besar dan luas untuk berbuat sesuatu bagi keluarga. Bagian tengah inilah rupanya perioda yang paling padat dalam hidup kita untuk belajar “jadi orang” yang kelak juga akan tua: belajar, berbuat, memberi contoh, memahami, sampai memelihara. Sementara kepada anak-anak harus siap melakukan A-to-Z, kepada orangtua lebih pada menjaga kesehatan dan hati atau perasaan mereka.

Berinteraksi dengan para orangtua tercinta yang sudah sepuh tentu memerlukan usaha dan perhatian yang besar. Dengan kondisi fisik yang sudah menurun mereka harus memperhatikan kesehatan dan nutrisi yang sesuai. Menjaga hati atau perasaan mereka yang pikirannya kadang kembali sederhana ini juga butuh kesabaran. Kita senantiasa harus dapat menunjukkan bahwa anak/menantu dan cucu-cucu mereka dalam keadaan “safe & secured” dan mau mendengarkan dengan baik apa yang mereka sampaikan dan ceritakan, sejak nasehat sampai nostalgia mereka.

Sebagai contoh ayah saya yang di foto ini, dalam usianya yang sudah 87 tahun, masih bisa dengan lancar menceritakan pengalaman nostaljik masa mudanya. Beliau masih ingat ketika jadi upas pos yang sekali gus jadi kurir komunikasi para pejuang zaman Jepang atau bagaimana beliau ikut membantu pengungsian para pejabat republik waktu Agresi Belanda kedua, lengkap dengan konversasi bahasa Jepang atau Belanda. Kadang beliau menceritakan pengalaman kerjanya sebagai pegawai Depkeu yang dibumbui pula dengan sedikit Bahasa Inggeris atau Arab. Mudah-mudahan dorongan beliau agar saya juga bisa bahasa Arab (selain dalam ibadah) nanti bisa terkabul. Kepada anak-anak saya, dalam puasa kemaren beliau menyarankan: “Kuasa Bahasa Inggeris supaya muncul instink untuk menguasai bahasa asing lainnya.”

Semoga kita dapat mengantarkan anak-anak kita ke kehidupan yang baik dan jaya serta membalas jasa ke empat orangtua kita. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar