15 Oktober 2008

Jalan Tol: Perlu Perubahan Paradigma Investasi

Kebijakan kita membangun jalan tol sekarang ini saya fikir memang harus dirubah dari pertimbangan hitungan traffic menuju prediksi keuntungan bangsa secara makro, khususnya untuk daerah di luar Jawa. Jika membangun jalan tol di luar Jawa hanya berdasarkan tinjauan ekonomi sesuai jumlah traffic saja, maka kelayakannya tidak akan pernah atau entah kapan tercapai. Padahal di banyak daerah yang sudah sangat memerlukan infrastruktur transportasi yang handal untuk melayani kepentingan ekonomi yang besar, pembangunan jalan tol sudah jadi suatu keniscayaan.

Ruas tol Pekanbaru dan sekitarnya (hinterland) ke Dumai (outlet pelabuhan) misalnya, sudah dua kali ditenderkan ternyata kurang peminat, meskipun Pemda sudah komit menanggung land aquisition. Padahal Dumai mengeluarkan tidak kurang dari 5 juta metrik ton CPO setiap tahun sehingga tiap hari sekitar 400-500 unit truk tanki overload (kapasitas 30.000 liter) masuk ke Dumai. Belum lagi termasuk komoditas lain dan barang-barang impor. Jika pun tidak membangun jalan toll, tentu kapasitas dan kualitas jalan yang ada harus bisa menjawab kebutuhan ini.

Belajar dari pengalaman Mahathir membangun Lebuh Raya Utara-Selatan yang mulanya mendapat kecaman karena juga secara jumlah traffic juga tidak layak (barangkali sekarang pada menyesal atau balik mengacungkan jempol), saya yakin sekali kalau generated traffic Pekanbaru-Dumai tidak seperti dalam textbook terbitan Amerika atau Inggeris karena kondisi existing wilayah tidak sama dan dampaknya juga lebih signifikan di negeri seperti kita ini (contoh lain, ribuan km jalan toll dibangun di Cina).

Untuk kemajuan daerah-daerah yang potensial, harus ada terobosan aturan dan perubahan paradigma pengembangan jalan tol. Jika secara traffic tidak layak, harus dapat dicari insentif tambahan bagi investornya seperti integrasi dengan kegiatan ekonomi di pelabuhan, perkebunan (Right of Way jalan toll di Malaysia dilebihkan untuk kebun sawit atau jati operatornya), kawasan industri, newtown, jalur kereta api atau pipa, income dari iklan dalam ROW, dsb.

Kemungkinan lain dengan memasukkan dalam business plannya semacam traffic guarantee atau tariff guarantee. Artinya jika jumlah trafficnya kurang, kekurangan income akibat itu ditanggung oleh pemerintah atau jika tarifnya tidak sesuai dengan hasil hitungan bisnisnya, pemerintah menutup sisanya.

Saya tidak tahu apa solusi ini pernah dicoba oleh otoritas/regulator jalan tol, terutama untuk luar Jawa. Yang jelas, beberapa calon investor luar menyatakan minatnya untuk menbangun jalan tol Pekanbaru-Dumai dengan request antara lain: akan kerjasama dengan pemenang tendernya aja karena tidak mau ikut tendernya (kenapa ya?), minta jaminan lembaga finansial yang diakui internasional terhadap keamanan/kepastian nilai investasi mereka (lembaga seperti itu yang mau sulit didapat), atau range kenaikan harga minta relatif lebar karena khawatir inflasi dan gangguan huru-hara (tiap hari muncul di TV kita sampai CNN kan?).

Artinya ada dua hal, pertama regulasi kita tidak bisa fleksibel dan mekanismenya tidak memudahkan dalam pengadaan pihak investor. Karena itu pusat harus dapat lebih membukan mata untuk melihat Indonesia ini secara keseluruhan dan oleh orang-orang yang tidak hanya tahu Jakarta saja. Regulasi yang tidak cocok perlu diubah suai dan mekanisme yang tidak "mengglobal" dipangkas. Kedua, country risk kita untuk investasi jangka panjang nampaknya masih mengkhawatirkan. Kalau yang terakhir ini, kita hanya bisa berdoa semoga Allah tetap melimpahkan kasih sayangnya supaya kita jadi bangsa yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar