11 Oktober 2008

Malu Pada Tuhan

Masing-masing kita mungkin pernah mengalami rasa malu yang luar biasa. Ketika kecil mungkin ketahuan mencuri buah-buahan tetangga atau waktu remaja bisa jadi kepergok mencuri pandang pada orang yang ditaksir. Di sekolah atau kampus mungkin pula pernah kena hukuman karena tidak mengerjakan tugas dengan baik.

Rasa malu itu bisa hanya terhadap satu orang atau boleh jadi satu kelas. Tergantung dampak dan tingkat kesalahan, rasa malu itu mestinya menorehkan efek jera. Bagaimana jika rasa malu itu pada Tuhan? Meskipun mungkin tidak ada orang yang tahu, apakah ia akan membuat jera atau tak peduli sehingga pada kejadian berikutnya maka rasa malu yang bernuansa religius ini makin dalam.

Saya pernah merasakan rasa malu pada Tuhan itu pada beberapa kejadian. Pertama, ketika masih berumur awal 30an sebagai seorang pemimpin proyek pembangunan jalan di pedalaman. Seorang pemimpin proyek jalan tentu sering berada di lokasi dan berinteraksi dengan masyarakat. Saya dan personil proyek sangat dihargai dan mendapat simpati masyarakat desa yang memang baik-baik itu mengingat hasil kerja kami akan merubah corak kehidupan mereka.

Pada suatu Jumat, saya ada di lapangan dan akan ikut sholat Jumat di masjid desa. Dengan segala rasa ketidakberdayaan dan anggapan biasa saja, saya hadir sebagai seorang makmum. Saya merasa bukan ustad dan yakin bahwa khatib yang ada tentu lebih mumpuni. Namun dengan segala kerendahan hati saya katakan bahwa ternyata khatib tempatan tersebut hanya berbekal ilmu sekedarnya dan lafaznya tidak akan lulus kalau ikut belajar ngaji dengan ayah saya sebagaimana yang saya alami ketika kecil.

Saat itu saya merasa sangat malu dengan Tuhan. Seorang lulusan perguruan tinggi ternama tidak sanggup berkontribusi dan melakukan pencerahan relegius terhadap masyarakat melalui tugas fardhu kifayah di sebuah desa pedalaman yang jauh tertinggal dari lingkungan kehidupannya. Rasa bangga sebagai seorang insinyur yang relatif masih jarang ketika itu, seketika bagaikan kerupuk kena guyur air. Tapi karena secara manusiawi hal itu acceptable (wong pimpro ya beda dong dengan ustad…) dan tidak ada sanksi yang langsung dan seketika, maka rasa malu pada Tuhan ini tidak menimbulkan efek jera.

Kejadian kedua, ketika saya mengikuti pendidikan untuk para pimpinan manajerial di Lembaga Administrasi Negara (LAN), Pejompongan, Jakarta. Hampir setiap hari habis sholat Subuh, penyelenggara LAN mengadakan Kultum (Kuliah tujuh menit) yang diisi oleh peserta didik. Kultum yang dapat diisi dengan materi bebas saja (tidak harus agama), hanya beberapa kali saja diisi oleh kelompak saya; selebihnya oleh para peserta pendidikan dari level yang lebih rendah. Saya malu pada Tuhan karena masuk dalam kelompok dengan status lebih tinggi tapi tidak mampu mengembangkan diri secara seimbang, seiring dengan usia dan capaian duniawi lainnya. Tapi sekali lagi karena itu wajar dan pemateri di masjid itu dianggap hanya tugas para ustad atau lulusan IAIN (sekarang UIN) maka rasa malu itu kembali terpendam dalam hati.

Kejadian serupa terjadi lagi dalam Ramadhan kemarin, alhamdulillah dengan kadar yang lebih ringan. Kultum setiap habis sholat Zuhur di kantor yang dapat saya mulai, alhamdulillah berjalan lancar dan telah diisi secara bergantian oleh para pegawai. Yang membuat rasa bangga tapi sekali gus kembali membangkitkan rasa malu adalah adanya seorang pegawai muda belia, bahkan belum punya jabatan, yang dapat memberikan kultum sedemikian baik. Dengan kualitas yang dipunyainya, untuk jadi khatib Jumat di mesjid kelas sedang dalam kota pun rasanya dia sudah pantas dalam usia awal 30an, seusia ketika saya jadi pimpro yang tidak mampu khutbah di masjid desa dulu.

Rasa bangga punya staf yang demikian bercampur aduk dengan rasa malu pada Tuhan. Dari sisi ini saya merasakan apa yang diindikasikan dalam Al-Quran surat Al-Ashri bahwa manusia senantiasa dalam keadaan merugi, kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh dan seterusnya. Rasa malu pada Tuhan yang bermuara pada penyesalan ini, mudah-mudahan dapat memperbaiki diri saya ke depan dan menjadi pencerahan bagi mereka yang masih punya kesempatan luas dan lama. Karena, seorang pemimpin adalah seorang yang mampu jadi panutan dan imam yang baik dan kita diperintahkan untuk menyampaikan (kebaikan) walaupun hanya satu ayat. Semoga Allah mengampuni kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar