30 Oktober 2008

Laskar Pelangi: Bisa Meneteskan Airmata Lebih Deras

Film Laskar Pelangi yang isinya jauh dari kemewahan, waktu diputar di teater-teater ternyata meledak. Jika ingin nonton, apalagi milih tempat duduknya, harus pesan tiket lebih dahulu. Film itu setting artistik dan ceritanya memang sangat bagus karena berdasarkan suatu kejadian asli yang dialami pengarangnya di Belitong (lebih sering ditulis Belitung).

Banyak yang memberi komentar bahwa film itu menggambarkan wajah pendidikan kita. Masyarakat di pedesaan apalagi yang kurang mampu sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Di lokasi-lokasi yang tidak terjangkau sekolah negeri, masyarakat mendirikan sekolah swasta dengan kondisi yang kembang kempis.

Bagi saya yang waktu SMP (1971-1972) pernah berada di Tanjung Balai Karimun, film itu tidak hanya sekedar menggambarkan dunia pendidikan kita tapi keadaan masyarakat kecil secara keseluruhan. Pulau Karimun di Provinsi Kepulauan Riau yang juga menghasilkan timah memiliki suasana lingkungan yang tidak jauh berbeda dengan Belitong. Sebagaimana juga di Singkep, terjadi disparitas sosial dan ekonomi yang mencolok antara lingkungan tambang timah dan masyarakat biasa.

Sebagai contoh, ketika masyarakat biasa harus berebut-rebut naik bis yang sangat sederhana, teman-teman sekolah saya dari perumahan PN Timah (populer dengan singkat PN) sudah diantar dengan bis sekolah khusus yang kondisinya lebih baik. Ketika kebanyakan murid hanya punya satu pasang sepatu untuk segala kegiatan, anak dari PN ada yang sudah memakai jaket jean Lee yang original dan membawa buah apel ke ke sekolah. Ketika sebagian dari kami menjauhi kantin sekolah karena tidak punya uang jajan, anak-anak PN sering dengan murah hati mentraktir teman-teman. Alhamdulillah, sebagaimana dalam film Laskar Pelangi, ternyata anak-anak non-PN yang hidupnya lebih bersahaja banyak yang prestasinya lebih baik.
Kesenjangan ini tidak hanya terjadi diantara anak-anak sekolah yang lebih melihat dengan cara sederhana tapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Pada hari-hari orang PN turun ke kota dari permukiman mereka yang berjarak sekitar satu jam dengan mobil, maka pasar juga jadi lebih ramai. Keadaan ini, khususnya pada awal bulan, kadang menyebabkan naiknya harga-harga di pasar. Sementara aktifitas ekonomi di lingkungan PN cenderung tidak mengalir ke luar, masyarakat tempatan lebih banyak sebagai penonton atraksi yang penuh dengan atribut konsumerisme itu.
Jika ada orang-orang yang bisa ikut bekerja di PN, kebanyakan hanya pada peran-peran harian atau tidak penting. Beberapa orang tetangga saya ketika itu dapat kesempatan untuk jadi satpam atau buruh harian yang biasanya tidak tahan lama karena tidak biasa dengan kerja berat dan teratur. Jika punya keahlian olahraga volly (tim volly PN sering jadi juara kecamatan) maka akan sedikit lebih beruntung dipekerjakan di kantor. Jika tak punya keterampilan, tak ada koneksi, atau nasib kurang baik maka jadilah para pemuda sebagai penonton yang penuh cemburu sehingga sering bentrok dengan para pemuda atau pegawai warga PN.


Bukannya karena ketika itu saya masih SMP sehingga tidak tahu apa yang terjadi, tapi dari informasi yang saya tahu sampai hari ini, ketika itu memang tidak ada program community development (CD) atau corporate social responsibility (CSR) dari PN Timah untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan konsesinya sebagaimana sekarang. PN merasa bekerja sesuai dengan tugas atau misinya, sedangkan masyarakat tempatan melihat bagaimana bumi mereka dikeduk tanpa membawa banyak perubahan pada kehidupan mereka.
Belum lagi jika kita bicara aspek lingkungan; ribuan hektar muka tanah dan laut cedera dan robek oleh kegiatan tambang yang sampai hari ini nampaknya tidak ada program recovery yang konseptual dan efektif. Di Singkep dan Karimun kita masih bisa menjumpai lobang-lobang kolam raksasa (ada yang menyebutnya kolong) peninggalan kapal keruk timah yang lebih banyak membawa mudarat. Kompleks daerah operasi di dua pulau ini ketika kegiatan PN Timah berakhir juga ditinggalkan begitu saja. Kantor, rumah sakit, sekolah, dan perumahan banyak yang terlantar karena serah terima asetnya (sebelum reformasi) tidak lengkap dengan program pemeliharaan dan pemanfaatan.

Karena itulah, bagi orang yang tahu riwayatnya atau masyarakat tempatan di pulau-pulau bekas tambang timah, film Laskar Pelangi rasanya akan dapat meneteskan airmata lebih deras lagi ketimbang ketika menceritakan Lintang meninggalkan sekolah reot dan gurunya yang penuh kasih itu. Itu jika kolong-kolong sisa tambang timah juga diperlihatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar